Pentingnya Proses Bagi Pembentukan Prilaku

KILASRIAU.com - Sumber daya manusia adalah salah satu modal utama dan juga merupakan aset terpenting di setiap organisasi. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki sifat yang dinamik. Dengan kata lain, sumber daya manusia menjadi sebuah faktor penggerak bagi modal-modal lain yang dimiliki organisasi, yaitu modal finansial dan modal fisik. Dengan kualitas sumber daya manusia yang baik dan positif maka akan menjadikan sumber daya organisasi lainnya dapat terkelola dengan baik pula sehingga organisasi akan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Untuk dapat memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, tentunya tidaklah mudah. Hal ini disebabkan karena dibutuhkan suatu investasi yang cukup besar dengan proses yang cukup panjang sehingga dibutuhkan suatu metode yang efektif dalam pengelolaannya. Dengan metode pengelolaan yang efektif maka akan membuat investasi yang dilakukan menjadi tepat guna dan berhasil guna. Selain itu, proses yang dilakukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pun dapat diraih dengan baik.

Pada dasarnya, kualitas sumber daya manusia dapat diukur dari tiga hal utama, yaitu skill (keahlian), knowledge (pengetahuan), dan attitude (sikap). Idealnya, agar suatu organisasi dapat berkembang dengan cepat maka sumber daya manusia yang ada harus memiliki keahlian yang sesuai dengan pekerjaannya. Selain itu, sumber daya manusia organisasi tersebut juga harus memiliki pengetahuan tentang organisasi dan bidang kerja yang digelutinya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah memiliki sikap/perilaku yang “baik” dan menguntungkan bagi organisasi.

Akan tetapi pada kenyataannya, kondisi ideal itu sulit untuk didapatkan. Dari ketiga hal di atas, yang sulit untuk dikontrol adalah sikap/perilaku dari sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi. Hal ini terjadi karena sikap/perilaku berhubungan erat dengan kepribadian seorang manusia.

Selama ini banyak anggapan yang menyatakan bahwa perilaku dalam diri manusia itu sulit untuk berubah. Hal ini disebabkan karena perilaku dalam diri manusia telah dianggap sebagai bawaan dari manusia sejak lahir. Dengan kata lain, perilaku dalam diri manusia dianggap sudah menjadi ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Namun pada kenyataannya, sifat atau perilaku dalam diri seorang manusia itu dapat berubah sesuai dengan yang diinginkan karena pada dasarnya sifat atau perilaku itu bukanlah bawaan, namun merupakan suatu bentukan dari pengalaman hidup yang dijalani dan segala sesuatu yang telah ditanamkan  para pendidik. Menurut Peter Lauster (seorang ahli psikologi) mengatakan bahwa seseorang tidak perlu ragu akan perilakunya yang “jelek” karena setiap perilaku yang ada akan dapat berubah sedikit demi sedikit seiring dengan pengaruh dan proses perjalanan waktu yang dijalaninya. Apabila manusia ingin mencapai kehidupan yang lebih berarti maka dengan kesadaran penuh dia harus mengubah perilakunya yang “jelek” dan merugikan menjadi perilaku yang “lebih baik” dan menguntungkan.

Ada beberapa faktor yang memengaruhi pembentukan perilaku manusia, yaitu:
Kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tersebut, Lingkungan di mana manusia tersebut hidup, Pendidikan yang ditempuh.
Keyakinan yang dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran dan kesalahan, Tujuan hidup yang telah ditetapkan dalam hati,Falsafah hidup yang telah terbentuk dari proses perjalanan kehidupan.

Dari faktor pertama dan kedua dapat dilihat bahwa kebiasaan dan lingkungan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku manusia. Apabila kita berbicara mengenai perilaku sumber daya manusia di organisasi maka tentunya tercermin dalam kebiasaan dan lingkungan yang tercipta di organisasi tersebut. Hal itu dapat dilihat dari etos kerja yang dibangun dalam setiap organisasi. Dengan demikian, apabila sebuah organisasi menginginkan sumber daya manusia yang berperilaku “baik” bagi organisasi maka kebiasaan dan lingkungan yang diciptakan dalam organisasi juga harus “baik”.

Kebiasaan dalam organisasi yang dimaksud adalah pola, perilaku, atau pelaksanaan dalam setiap pekerjaan. Sementara itu, lingkungan dalam organisasi yang dimaksud adalah kebijakan dan keputusan dalam organisasi, budaya organisasi, situasi dan kondisi organisasi, serta seluruh personal yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, agar sebuah organisasi dapat menjadi organisasi yang profesional dan terpercaya maka kebiasaan yang diciptakan dalam organisasi tersebut juga harus dapat berperilaku profesional. Dengan demikian, profesionalisme yang biasa dijalankan akan menimbulkan kepercayaan terhadap organisasi tersebut dengan sendirinya. Mulai dari karyawan yang terbawah sampai dengan atasan yang tertinggi harus dapat selalu menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan kewajiban masing-masing, berperilaku disiplin dalam pengerjaan dan penyelesaian, serta selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran dalam setiap penyikapan yang dilakukan. Dengan begitu, lingkungan yang dibangun adalah kejelasan mengenai deskripsi kerja, sistem, mekanisme, aturan dan kebijakan organisasi.

Untuk itu, organisasi harus memiliki Standard Operasional Procedure (SOP), tersedianya sarana dan prasarana penunjang pekerjaan, dan telah memiliki aturan yang jelas mengenai jenjang prestasi dan karir dari sumberdaya manusia yang dimiliki. Selain itu, hal lain yang tidak kalah penting adalah standar peningkatan kualitas sumber daya manusia yang termasuk dalam visi dan misi organisasi. Dengan demikian, apabila organisasi menginginkan sumberdaya manusia yang memiliki perilakuyang dapat menguntungkan organisasi maka bukanlah hal yang sulit. Semua itu bergantung dari bagaimana organisasi tersebut dapat membangun kebiasaan yang”baik” dan didukung dengan terciptanya lingkungan yang “baik” pula. Untuk menjadikan sesuatu sesuai dengan keinginan organisasi pasti selalu membutuhkan sebuah proses, harus memiliki metode yang tepat, serta komitmen yang kuat untuk menjalankannya.

Pada faktor ketiga, maksud dari pendidikan yang ditempuh adalah pengetahuan yang didapatkan oleh tiap-tiap sumber daya manusia selama melakukan proses pembelajaran, baik secara formal maupun nonformal. Hal ini karena secara idealnya, semakin tinggi pendidikan yang ditempuh oleh seorang manusia maka manusia tersebut akan semakin beradab, bijaksana dan memiliki tingkat kesadaran yang tinggi. Selain itu, semakin tinggi pendidikan maka seorang manusia akan memiliki wawasan yang lebih luas, memiliki pola pikir yang lebih baik dan pola kerja yang lebih terstruktur sehingga setiap perilaku yang dijalankan akan semakin terkontrol, terencana dan terevaluasi dengan baik. Sebagai contoh, untuk pendidikan formal, karyawan dengan lulusan perguruan tinggi idealnya akan memiliki pola pikir yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang memiliki lulusan di bawahnya (SMA, SMP, SD). Biasanya karyawan yang memiliki pendidikan tinggi akan dapat diajak untuk berpikir secara konseptual, memiliki visi dan misi yang jelas, serta memiliki kemampuan implementasi yang lebih baik.

Pada faktor keempat, maksud dari keyakinan adalah setiap hal yang telah mendarah-daging dalam jiwa manusia. Keyakinan akan selalu menjadi prinsip dan pegangan dalam menjalani kehidupan sehingga perilaku yang ada dalam diri manusia juga terpengaruh oleh keyakinan yang diyakini sebagai sebuah kebenaran awal dalam hidupnya.  Keyakinan dalam diri manusia akan berubah seiring dengan bertambahnya pemahaman manusia itu terhadap setiap permasalahan yang dialaminya. Sebagai contoh, apabila seseorang memiliki keyakinan bahwa manusia tidak akan bisa hidup tanpa uang maka perilaku dalam kehidupannya akan cenderung identik dengan uang. Akan tetapi, apabila pada perkembangan kehidupan berikutnya dia mengalami suatu kondisi di mana ternyata uang bukan segala-galanya maka keyakinannya yang semula akan ikut berubah.

Pada faktor kelima, yang dimaksud dengan tujuan hidup adalah suatu hal yang sangat ingin didapatkan atau dicapai oleh manusia. Dengan keinginan yang sangat kuat, manusia akan berusaha mengikuti dan menjalani setiap persyaratan yang harus ditempuh agar dapat mencapai yang diinginkan. Seringkali tujuan dalam hidup juga dipengaruhi oleh prinsip dan keyakinan yang ada dalam setiap diri manusia.
Pada faktor keenam, yang dimaksud falsafah hidup di sini adalah pemaknaan dan penyikapan terhadap setiap permasalahan yang dihadapi dalam menjalani proses kehidupan di muka bumi ini. Dengan pemaknaan yang mendalam maka akan menciptakan pandangan hidup yang menjadi pegangan dan keyakinan yang tercermin dalam perilaku yang ditampakkan.

Penulis: Dina Istiqomah Mahasiswa Magister s2 PGMI






Tulis Komentar