Korupsi di Tengah Krisis: Saat Nurani Dikorbankan Demi Kekuasaan

Foto: doc. Kilasriau.com

"Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang."
Iwan Fals

Kalimat itu kini terasa lebih nyata dari sekadar bait lagu. Ketika cinta, dalam bentuk empati, kejujuran, dan kepedulian sosial, dicampakkan oleh mereka yang diberi amanah, maka keadilan pun menjauh dari rakyat. Yang tersisa hanya sandiwara hukum dan kebijakan yang berpihak pada segelintir elite.

Di tengah krisis—ekonomi yang lesu, angka kemiskinan naik, dan layanan publik yang tertatih—korupsi terus menjamur. Bahkan, bukan hanya tidak menurun, ia justru semakin licik. Bantuan sosial disunat, dana proyek diselewengkan, dan anggaran penanganan bencana dimanfaatkan untuk memperkaya diri.

Ini bukan sekadar pelanggaran hukum. Ini adalah penghianatan terhadap nurani. Rakyat susah makan, tapi pejabat belanja mewah. Petani kesulitan pupuk, tapi penguasa liburan ke luar negeri dengan uang negara.

Akar masalahnya sederhana: cinta pada rakyat telah digantikan dengan cinta pada kekuasaan dan uang. Jabatan tak lagi dimaknai sebagai tanggung jawab, melainkan sebagai investasi. Kekuasaan bukan alat untuk melayani, tapi kesempatan untuk mengambil.

Itulah sebabnya, ketika korupsi terbongkar, publik hanya disuguhi drama dan alasan klasik: “Saya khilaf,” “Ini untuk operasional,” atau “Saya hanya ikut perintah.” Ironisnya, hukuman ringan menjadi akhir cerita, dan pelaku kembali hidup nyaman.

Keadilan yang lahir dari sistem seperti ini tak lebih dari topeng. Rakyat kecil diseret ke meja hijau karena mencuri setandan pisang, tapi koruptor miliaran bisa tertawa di ruang sidang. Bila cinta tak lagi menjadi dasar pengambilan keputusan, maka keadilan hanyalah sandiwara.

Namun, belum semuanya hilang. Masih ada jaksa dan hakim yang jujur. Masih ada wartawan yang berani menulis, aktivis yang konsisten bersuara, dan rakyat yang tidak mau diam. Mereka inilah api kecil yang terus menjaga negeri agar tidak sepenuhnya gelap.

Harapan itu akan terus ada, selama kita menolak untuk lupa. Selama kita tetap percaya bahwa keadilan harus lahir dari cinta—dari hati yang benar-benar peduli, bukan dari ambisi yang membakar nurani.

Bangsa ini butuh lebih dari sekadar undang-undang. Kita butuh budaya integritas. Kita butuh pemimpin yang berani jujur, bukan hanya pintar bicara. Dan yang paling utama, kita butuh mengembalikan cinta sebagai dasar membangun keadilan.

Karena kalau cinta tetap dibuang, jangan pernah berharap keadilan akan datang.*(ald)






Tulis Komentar