Mujair Mati di Sawah, Pantau Jadi Rebutan

KilasRiau.com - Air mengalir ke tempat yang rendah, sungai yang dalam tiada satu ukuran. Begitulah hukum alam, sederhana tapi penuh makna. Namun, pantun lama menegur kita dengan bahasa kias: “Sedangkan mujair mati di sawah, apalah pantau jadi incaran.”

Sekilas, bait itu hanyalah permainan kata. Tapi jika direnungkan, ia menyimpan sindiran sosial yang tajam. Bagaimana mungkin mujair—ikan yang mestinya hidup di kolam atau sungai—justru mati di sawah? Bagaimana pula ikan pantau, ikan kecil yang nilainya tak seberapa, malah jadi incaran? Inilah potret dunia yang terbalik: sesuatu yang tidak pada tempatnya dipaksakan, sementara yang seharusnya wajar justru diabaikan.

Fenomena ini begitu dekat dengan kehidupan kita hari ini. Berapa banyak orang berilmu dan berintegritas tersingkir dari ruang-ruang kebijakan, hanya karena tak pandai menjilat? Berapa banyak putusan diambil bukan demi kepentingan rakyat, melainkan demi menjaga kenyamanan sekelompok kecil yang sedang berkuasa?

Kita menyaksikan, yang jujur malah dipinggirkan. Yang kritis dicap pembangkang. Yang bersuara untuk rakyat sering kali justru ditekan, bahkan dikorbankan. Sementara mereka yang lihai bersandiwara, pandai bermuka dua, justru dipuji, dirangkul, bahkan diangkat ke kursi kuasa. Seperti mujair yang mati di sawah—tak wajar, tapi dibiarkan.

Di sisi lain, yang tidak bernilai tinggi justru jadi rebutan. Jabatan yang mestinya amanah malah diperlakukan seperti ikan pantau: kecil, tak seberapa, tapi diperebutkan ramai-ramai. Proyek pembangunan, bantuan sosial, bahkan sumber daya alam diperebutkan tanpa malu-malu.

Pantun itu juga menyindir soal ukuran. Sungai yang dalam tiada satu ukuran—artinya, kedalaman tak bisa dipukul rata. Sayangnya, negeri ini sering menilai manusia dengan ukuran ganda. Hukum bisa tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Presiden pertama RI, Soekarno, pernah berkata, “Negara yang tidak menegakkan keadilan akan runtuh dengan sendirinya.” Kata-kata ini relevan hingga hari ini. Kita masih hidup di tengah ketidakadilan yang seolah dipelihara. Seorang kecil yang mencuri ayam langsung dicap penjahat, tapi yang menggarong uang negara miliaran rupiah masih bisa tersenyum di depan kamera.

Peribahasa Minang mengatakan: “Alam takambang jadi guru.” Alam mestinya jadi pengajar kehidupan. Tapi ketika manusia membalik hukum alam demi kepentingannya sendiri, yang terjadi hanyalah kerusakan. Mujair pun mati di sawah, dan pantau yang kecil jadi rebutan.

Pantun lama selalu menyimpan cermin. Ia bukan sekadar hiburan, melainkan pengingat agar kita tidak hanyut dalam ketidakadilan. Apakah kita mau terus membiarkan yang tak berharga diperebutkan, sementara yang bernilai justru dikorbankan? Apakah kita rela hidup dalam dunia yang terbalik?

Sesungguhnya, teguran itu bukan hanya untuk para penguasa, tapi juga untuk kita sebagai masyarakat. Bukankah kita sering ikut-ikutan mengagungkan yang semu? Bukankah kita juga kerap memberi panggung pada mereka yang hanya pandai bersandiwara, alih-alih menguatkan yang benar-benar bekerja untuk kepentingan banyak orang?

Pantun itu seharusnya jadi cambuk. Kita perlu berani menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mujair harus kembali ke kolamnya, pantau biarlah tetap hidup sebagai ikan kecil di sungai. Artinya, orang yang berilmu dan berintegritas harus diberi ruang, sementara mereka yang hanya mencari untung dari kepentingan sesaat mesti diberi batas.

Keadilan bukan sekadar jargon, melainkan keseimbangan. Seperti air yang selalu mencari tempat rendah, hidup pun seharusnya berjalan sesuai hukum alam: yang rendah hati akan terhormat, yang benar akan berdiri tegak.

Namun itu semua tak akan terjadi bila kita hanya diam. Perubahan lahir dari keberanian untuk mengatakan “tidak” pada kepalsuan. Dari keberanian untuk menolak ikut berebut pantau yang tak seberapa, dan dari kesadaran untuk menjaga agar mujair tetap hidup di habitatnya.

Pantun lama selalu sederhana, tapi maknanya mendalam. “Sedangkan mujair mati di sawah, apalah pantau jadi incaran.” Ia adalah kritik sosial yang relevan sepanjang masa. Selama dunia masih berjalan terbalik, selama keadilan masih ditakar dengan ukuran ganda, pantun itu akan terus hidup sebagai teguran.

Kini, pertanyaannya hanya satu: sampai kapan kita rela menjadi penonton dari dunia yang terbalik? *

 

Source: Taqiyyudin Al Hamzah






Tulis Komentar