Menjaga Sungai Kuantan, Menjaga Marwah Kuansing

TELUK KUANTAN (KilasRiau.com) - Sungai Kuantan bukan hanya bentangan air yang mengalir di jantung Kuantan Singingi. Ia adalah nadi kehidupan, tempat masyarakat menggantungkan ekonomi, budaya, dan sejarah. Di sanalah anak-anak belajar berenang, ibu-ibu mencuci, nelayan mencari ikan, dan masyarakat merayakan Pacu Jalur yang mendunia. Sungai Kuantan adalah simbol marwah dan identitas Kuansing.
Namun, keindahan itu lama tercoreng oleh praktik Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Mesin-mesin dompeng menghantam dasar sungai, menebarkan lumpur, mencemari air, dan merusak ekosistem. Ikan menghilang, air menjadi keruh, bahkan sebagian wilayah merasakan dampak longsor akibat rakusnya manusia yang hanya memikirkan keuntungan sesaat.
Dalam beberapa bulan terakhir, publik menyaksikan ketegasan Kapolda Riau dalam menindak praktik PETI di Kuantan Singingi. Hasilnya nyata, Sungai Kuantan kini mulai berangsur jernih, setidaknya lumayan bersih dibandingkan sebelumnya. Warga perantauan pun menyampaikan apresiasi. Mereka yang jauh dari kampung halaman tetap menaruh perhatian besar pada kondisi sungai tempat mereka tumbuh.
Tindakan tegas ini harus diapresiasi, sebab selama bertahun-tahun PETI seperti dibiarkan hidup. Bahkan, tidak sedikit suara masyarakat yang menduga adanya oknum aparat dan cukong besar yang membekingi serta memodali aktivitas ilegal tersebut. Jika dugaan itu benar, maka sesungguhnya bukan hanya lingkungan yang dikhianati, tetapi juga rakyat sendiri.
PETI bukan hanya pelanggaran hukum, ia adalah kejahatan lingkungan. Kerusakan yang ditimbulkan tidak bisa diperbaiki dalam hitungan hari atau tahun. Hutan yang gundul, tanah yang tergerus, sungai yang tercemar merkuri—semua itu membutuhkan puluhan tahun untuk pulih, bahkan ada yang tidak bisa dipulihkan sama sekali.
Di balik itu, ada juga masalah sosial. PETI menciptakan lingkaran setan kemiskinan. Masyarakat kecil yang tergiur keuntungan cepat sering kali menjadi pekerja, sementara keuntungan besar mengalir ke pemodal. Ketika penertiban dilakukan, justru masyarakat kecil yang sering dikorbankan, sedangkan cukong besar tetap bebas berkeliaran.
Pidato Presiden RI dalam Sidang Tahunan MPR RI, 15 Agustus 2025, menjadi pengingat bahwa negara tidak boleh kalah oleh mafia sumber daya alam. Presiden menegaskan pentingnya aparat hukum untuk berani menindak tegas, tanpa pandang bulu. Inilah yang harus dijadikan pegangan bersama.
Jika ada oknum polisi, tentara, atau siapa pun yang mencoba melindungi PETI, maka masyarakat tidak boleh diam. Gunakan kanal resmi pengaduan, salah satunya Nomor Pengaduan Polda Riau: 0812-6212-8000. Jika laporan diabaikan, maka viralkan. Suara rakyat di era digital ini tidak bisa lagi dibungkam.
Menjaga Sungai Kuantan sama dengan menjaga harga diri. Kuansing dikenal luas melalui Pacu Jalur, tradisi yang digelar di atas sungai. Apa artinya Pacu Jalur jika airnya keruh, jika ikan tak lagi hidup, jika sungai hanya tinggal cerita?
Kita harus bertanya kepada diri sendiri: apakah kita rela membiarkan kerakusan segelintir orang menghancurkan warisan anak cucu kita? Apakah kita tega melihat generasi mendatang hanya mengenal Sungai Kuantan dari foto-foto lama, tanpa pernah merasakan jernihnya air atau melihat ikan bermain di alirannya?
Warga Kuansing perantauan, seperti yang disuarakan oleh Arman L. Wisnu, memberi contoh nyata bahwa cinta kampung halaman tidak pernah pudar. Walaupun jauh, mereka tetap peduli, menyuarakan harapan, bahkan mengingatkan aparat agar tetap konsisten. Suara-suara dari luar daerah ini penting sebagai tekanan moral sekaligus bukti bahwa Kuantan Singingi tidak berdiri sendiri.

Menjaga Sungai Kuantan tidak bisa hanya dibebankan kepada polisi atau pemerintah. Ini adalah tanggung jawab bersama. Aparat harus konsisten, pemerintah daerah harus menyediakan solusi ekonomi alternatif bagi masyarakat yang selama ini menggantungkan hidup pada PETI, dan masyarakat harus berani menolak praktik ilegal tersebut.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa ada warga yang bekerja di PETI karena desakan ekonomi. Oleh sebab itu, langkah represif saja tidak cukup. Harus ada program pemberdayaan, lapangan kerja baru, serta solusi ekonomi yang lebih ramah lingkungan. Hanya dengan cara itu, PETI bisa benar-benar hilang, bukan sekadar pindah lokasi atau bersembunyi sementara.
Sungai Kuantan adalah marwah Kuansing. Menjaganya berarti menjaga kehormatan, budaya, dan masa depan generasi mendatang. Ketegasan Kapolda Riau harus didukung, pidato Presiden harus dijadikan pegangan, dan masyarakat harus berani bersuara.
Jika masih ada oknum yang mencoba membekingi PETI, jangan ragu: laporkan, viralkan, dan lawan. Karena Sungai Kuantan bukan milik segelintir orang, melainkan warisan seluruh rakyat Kuantan Singingi.*
Source: Aldian Syahmubara
Tulis Komentar