Ketika Pendidikan Tak Lagi Punya Cinta, Keadilan Hanya Jadi Mimpi

Foto: Ilustrasi (doc. Kilasriau.com)

KilasRiau.com - Banyak orang mengira keadilan dalam pendidikan hanya soal bisa sekolah atau tidak. Padahal, ketimpangan tersembunyi jauh lebih kejam dari sekadar angka. Kita tak butuh slogan—kita butuh cinta.

"Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang."

Kalimat ini bukan sekadar bait lagu dari musisi legendaris Iwan Fals, tapi sebuah peringatan tajam bahwa keadilan sejati tak akan pernah tumbuh dari tanah yang gersang oleh empati. Kita hidup di negeri yang sering bicara soal hukum, tetapi lupa menyiramnya dengan kasih sayang. Kita rajin membicarakan keadilan, namun kerap menguburnya dalam birokrasi dan ego sektoral.

Salah satu panggung nyata ketimpangan itu adalah dunia pendidikan. Di atas kertas, pendidikan disebut sebagai hak setiap warga negara. Tapi dalam praktiknya, sistem pendidikan kita masih jauh dari adil. Tak semua anak memiliki akses yang sama. Tak semua guru memiliki semangat yang sama. Dan tak semua kebijakan lahir dari cinta kepada anak-anak bangsa.

Lihatlah bagaimana pendidikan di daerah terpencil kerap diperlakukan sebagai nomor sekian. Siswa harus menempuh belasan kilometer untuk sampai ke sekolah bahkan terkadang mempertaruhkan nyawa di atas jembatan tali menyeberangi sungai dan jurang. Guru honorer digaji seadanya, bahkan sering tak digaji sama sekali. Gedung sekolah rapuh, fasilitas minim, dan bantuan dari pusat pun sering kali datang dengan syarat yang justru menyulitkan.

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan baru sering lahir tanpa mendengar suara mereka yang paling terdampak. Misalnya, syarat kelulusan tambahan yang tidak diatur dalam UU, paksaan untuk memiliki ijazah lembaga tertentu, atau kewajiban membeli seragam dan perlengkapan dari pihak tertentu yang nilainya memberatkan. Di mana cinta dalam kebijakan semacam ini?

Kita juga tak bisa menutup mata bahwa korupsi dalam sektor pendidikan bukan isapan jempol. Dana BOS dikorupsi, anggaran rehab sekolah diselewengkan, dan proyek pengadaan buku atau alat peraga lebih berpihak pada keuntungan rekanan daripada kebutuhan murid. Ini bukan lagi sekadar soal aturan, tapi soal nurani. Saat nurani mati, pendidikan tak lagi menjadi ruang pembebasan, melainkan jebakan ketimpangan baru.

Keadilan dalam pendidikan bukan hanya soal semua anak bisa bersekolah. Tapi bagaimana setiap anak, dari Sabang sampai Merauke, dari kota sampai dusun, bisa merasakan cinta yang sama dari negara: lewat guru yang dihargai, fasilitas yang layak, dan kebijakan yang berpihak pada masa depan mereka.

Pendidikan yang adil tidak lahir dari kalkulasi angka semata, tapi dari keberanian untuk mencintai—mencintai anak-anak bangsa, mencintai keadilan, mencintai masa depan yang lebih terang. Dan cinta itu mestinya menjadi jantung dari setiap keputusan yang diambil oleh mereka yang duduk di kursi kuasa.

Jika cinta terus dibuang dari ruang-ruang kebijakan, jangan heran jika keadilan pun enggan datang. Karena tanpa cinta, pendidikan hanya akan menjadi alat seleksi sosial—memisahkan yang mampu dan tak mampu, yang punya akses dan tak punya suara.

Dan itu bukan pendidikan. Itu penjajahan model baru.*(ald)






Tulis Komentar