Wakaf Uang dengan Semangat Pancasila

Sofiandi, Lc., M.HI,Ph.D

KILASRIAU.com - Sebagai negara dengan aset wakaf terbesar di dunia, baik asset wakaf berupa benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak, ditambah lagi dengan mayoritas penduduk muslim terbanyak serta potensi wakaf uang yang jumlahnya mencapai Rp.178,65 trilliun – menurut hitungan Badan Wakaf Indoneisa (BWI), maka gebrakan yang dilakukan pemerintah berupa Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) sejak 25 Januari 2021 yang lalu merupakan babak baru dari pergerakan wakaf di Indonesia. Sebuah babak yang menandai dimulainya pelaksanaan wakaf yang lebih luas dan modern.

Fenomena wakaf bagian dari seperangkat tool sosio-ekonomi safety network dalam sistem ekonomi Islam sesungguhnya telah terekam baik dalam sejarah peradaban Islam. Hal ini tidak lepas dari keunikan dari wakaf itu sendiri dibandingkan dengan sosio-ekonomi safety network Islam lainnya seperti sedekah, infaq, dan bahkan zakat. Nature-nya yang bersifat perpetuity, irrevocability, dan inalienability menjadikan wakaf sebuah sistem sosio-ekonomi yang lebih relevan dalam fungsinya menumbuh-kembangkan perekonomian manusia secara lintas agama, tidak hanya terfokus kepada umat Islam semata. Inilah titik poin yang seharusnya dijadikan pijakan awal dalam mengembangkan wakaf, khususnya dalam mentrigger GNWU ini dalam skala nasional.

Sekali lagi, mindset semacam ini sangatlah penting untuk dimiliki oleh pemerintah, BWI dan para manager wakaf (nadzir). Sebab, wakaf uang bukanlah hal baru di Indonesia. Pada tanggal 26 April 2002, dalam upaya mendukung perkembangan wakaf produktif di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwa telah mengesahkan fatwa wakaf uang (cash endowment).

Fatwa tersebut menyebutkan bahwa:
1) Wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum berupa uang,
2) Yang termasuk uang adalah surat berharga,
3) Wakaf uang tunai hanya dapat disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan syar'i,
4) Jumlah pokok uang harus dijamin berkelanjutannya, tidak untuk dijual, dihibahkan, dan/atau diwariskan.

Melalui fatwa ini, pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf dengan cakupannya luas termasuk wakaf uang. Ini sesungguhnya bukti nyata dukungan pemerintah terhadap pelaksanaan wakaf di Indonesia. Namun, semenjak diterbitkannya undang-undang tersebut, wakaf uang tidak mengalami perkembangan yang berarti, atau bahkan bisa dikatakan stagnan, tidak berkembang sama sekali. Apalagi jika dibandingkan dengan perkembangan Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) di Indonesia. Fenomena ini mungkin saja terjadi pada GNWU yang sedang gencar didengungkan oleh pemerintah Indonesia jika kita tidak berkaca pada pengalaman sebelum ini. Pasibilitasnya seakan menuju ke arah tersebut jika dilihat dari diluncurkannya GNWU sejak akhir Januari 2021 lalu hingga saat ini, tidak ada peningkatan wakaf uang yang berarti jika dibandingkan dengan potensi yang ada.

Harus diakui, kendala yang dihadapi dalam mengerakkan wakaf uang paska diterbitkannya fatwa MUI tahun 2002 dan UU No. 41 tahun 2004 tersebut sangat kompleks. Banyak penelitian ilmiah yang telah dilakukan oleh para akademisi dan peneliti yang menghasilkan berbagai konklusi kompleksitas tersebut, mulai dari problematika sosialisasi, pemahaman tentang wakaf hingga masalah yang bersifat teknis, administratif dan menejerial. Oleh karena itu, perlu diketengahkan mindset yang lebih terbuka, inklusif, bukannya eksklusif sebagaimana yang disebutkan diatas, bahwa wakaf uang tidak hanya digalakkan bagai umat Islam saja namun juga dibukakan pintu yang luas bagi non-Muslim untuk melaksanakan wakaf uang sehingga mereka ikut berpartisipasi dalam menumbuh-kembangkan perekonomian manusia lintas agama. Tentunya ini juga cerminan dari semangat Pancasila. Setidaknya, 2 hal krusial yang harus dilakukan untuk hal ini, pertama menyentuh serta menggerakkan golongan menengah ke bawah dan kedua menyentuh serta menggerakkan golongan non-Muslim.

Pertama, pemahaman yang selama ini melekat dibenak masyarakat awam bahwa wakaf adalah suatu ibadah khusus yang hanya bisa dilakukan oleh golongan atas dan kaum berada saja. Lain halnya dengan infaq, sedekah dan zakat. Oleh karena itu, selama ini, wakaf hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kelebihan tanah, bangunan yang tidak terpakai, harta berlebih dan sebagainya. Pendek kata, golongan menengah ke bawah akan sulit untuk dihimbau dan digerakkan. GNWU membuka dimensi baru bagi pergerakan wakaf di Indonesia. Karena secara praktis, uang yang diwakafkan tidak terbatas besar dan kecilnya. Sebesar apapun jumlah uang tersebut, akan menjadi aset wakaf jika akadnya sudah terjadi yang tentunya memenuhi rukun dan syarat. Demikian pula, sekecil apapun jumlah uang tersebut, akan juga menjadi aset wakaf jika akad sudah terbentuk serta sesuai dg rukun dan syarat syar'inya. Inilah peluang besar yang harus disasar sebaik mungkin oleh pemerintah, BWI, dan nadzir. Harus dibuka cakrawala pemahaman yang utuh bahwa dengan wakaf uang siapapun bisa berwakaf. Everyone can do it, jika menggunakan Bahasa marketing. Data Badan Wakaf Indonesia (BWI) mencatat di segmen kelas menengah potensi wakaf uang mencapai Rp. 2,5 triliun pertahun. Asumsi ini tentunya asumsi terendah. Bayangkan jika kelas menengah ini mengeluarkan wakaf mereka dalam jumlah diatas rata-rata. Sudah barang pasti banyak hal yang bisa dilakukan dalam upaya menggerakkan roda ekonomi masyarakat secara global dan membangun kehidupan sosial secara umum.

Kedua, mengajak non-Muslim untuk berpartisipasi dalam gerakan GNWU. Pemerintah harus mendorong hal ini agar kalangan non-Muslim ikut serta dalam berwakaf uang jika hendak melakukan penghimpunan yang cepat yang tentunya mensukseskan GNWU ini. Secara ketentuan fikih, tidak bermasalah bahkan non-Muslim juga dipersilahkan melaksanakan wakaf. Dalam hal ini, non-Muslim diajak untuk melaksanakan wakaf uang. Jika kita lihat pengelolaan wakaf di negara-negara lain, wakaf telah secara massif dilakukan oleh kalangan non-Muslim. Dilihat dari sudut pandang ekonomi, wakaf uang dapat dikategorikan sebagai dana abadi milik umat atau milik rakyat (jika dilakukan bersama dengan golongan non-Muslim). Tentu saja manfaat yang dihasilkan dari dana abadi milik rakyat ini akan sangat membantu pergerakan roda ekonomi secara global dan menciptakan kehidupan sosial yang saling menguntungkan. Bisa dibayangkan, jika saja para konglomerat Indonesia yang masuk dalam deretan Majalah Forbes tersebut, yang notabene mereka rata-rata non-Muslim, melakukan wakaf uang. Berapa potensi yang bisa diolah untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini merupakan terobosan yang harus dilakukan sehingga wakaf uang ini tidak tersekat oleh batasan agama.

Bagaimana secara hukum? Pertama dilihat dari sisi UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 78, Hendri Tanjung, Ph.D., dari Divisi Pembinaan dan Pemberdayaan Nazdir Badan Wakaf Indonesia, menyebutkan kegiatan wakaf boleh dilakukan oleh umat non-Muslim. Dia menjelaskan bahwa dalam pasal 78 tersebut, seorang wakif (orang yang berwakaf) itu memiliki syarat tertentu yakni berakal, sehat, tidak ada catatan kriminal dan hukum, dan terakhir adalah pemilik sah dari harta benda wakaf tersebut. Dalam UU ini tidak disebutkan kriteria harus muslim maupun non-Muslim. Kesimpulannya adalah boleh dan tidak ada larangan bagi non-Muslim untuk berwakaf. Lalu bagaimana dari sudut pandang fikih?

Ulama fikih dari Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) KH. Mahbub Ma'afi Ramdlan menjelaskan, pada dasarnya tidak ada perbedaan di antara para ulama fikih terkait kebolehan dan keabsahan wakaf non-Muslim kepada Muslim. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Fathul Wahhab. Namun, dengan catatan, sesuatu yang diwakafkan itu memang layak untuk dimiliki Muslim. Demikian, karena para ulama sepakat bahwa Islam itu bukan merupakan syarat bagi sahnya wakaf. Yang penting, jika wakaf uang tersebut berasal dari sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut bukanlah perusahaan yang bergerak dibidang yang dilarang oleh Islam, misalnya perusahaan produksi miras, maka wakaf uangnya tidak bisa diterima. Ataupun benda yang diwakafkan itu memang barang yang haram secara fikih, seperti kendaraan atau uang hasil curian.

Setidaknya, kedua perkara ini bisa dijadikan terobosan yang jitu ditengah masih sepinya GNWU hingga saat ini. Pemerintah bisa belajar dari negeri-negara muslim lain dalam hal pengelolaan wakaf. Bahkan sejarah keberhasilan wakaf dalam menggerakkan ekonomi negara, sebagaimana yang tercatat pada banyak buku sejarah peradaban dunia harus selalu disosialisasikan dengan melibatkan peran pemuka lintas agama yang notabene bersentuhan langsung dengan umatnya masing-masing. Dengan ini, kita ciptakan momentum kebersamaan sebagaimana semangat yang selalu bergelora dalam Pancasila. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.






Tulis Komentar