Tayangan Televisi yang Melecehkan Kiai Langgar Hak Asasi Manusia

KILASRIAU.com - Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Mafirion, menyesalkan tayangan yang menampilkan pelecehan terhadap sosok kiai. Ia menilai, tindakan tersebut tidak hanya mencederai nilai-nilai keagamaan, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menurut Mafirion, Pasal 29 ayat (1) UU HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan nama baik. Karena itu, tayangan yang merendahkan atau melecehkan seorang kiai berarti telah melanggar hak atas martabat manusia.
“Kiai bukan hanya individu, tetapi tokoh spiritual yang dihormati dan menjadi panutan dalam masyarakat pesantren. Merendahkan seorang kiai berarti juga merendahkan nilai-nilai moral, keagamaan, dan identitas komunitas santri,” tegas Mafirion di Jakarta, Senin (14/10).
- Meresahkan, Kementerian ATR BPN Siap Gulung Sindikat Mafia Tanah di Pekanbaru
- HMI Tembilahan Sampaikan SAPTASUARA ke DPRD Inhil, Disepakati Tindak Lanjut
- HMI Cabang Tembilahan Bersurat ke DPRD Inhil, Lampirkan Dokumen SAPTASUARA – 7 Suara Rakyat
- DPRD Apresiasi Aspirasi Mahasiswa, Janji Tindaklanjuti Tuntutan
- HMI Cabang Tembilahan: Brutalitas Aparat dan Ketamakan DPR RI Biangkerok Tragedi Pejompongan
Lebih lanjut, Mafirion menjelaskan bahwa pelecehan terhadap simbol agama atau tokoh agama juga bertentangan dengan prinsip-prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), terutama Pasal 1 dan Pasal 5 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak diperlakukan dengan martabat dan tanpa penghinaan atau perlakuan merendahkan.
“Pelecehan terhadap tokoh agama dapat dikategorikan sebagai tindakan diskriminatif yang menodai nilai kemanusiaan universal. Ini bukan hanya soal etika, tapi juga persoalan hak asasi manusia,” tambahnya.
Mafirion juga mengingatkan bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi memang dijamin konstitusi — sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU HAM dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 — namun kebebasan tersebut tidak bersifat absolut.
“Media dan kreator konten memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk menggunakan kebebasan berekspresi secara berimbang dan menghormati hak orang lain, termasuk hak atas kehormatan dan reputasi. Jika kebebasan digunakan untuk merendahkan atau menista, maka itu sudah menjadi penyalahgunaan kebebasan,” tegasnya.
Ia menilai, tayangan yang bersifat tendensius terhadap kiai telah menimbulkan keresahan luas di kalangan pesantren dan umat Islam. Oleh karena itu, Mafirion mendesak lembaga terkait, termasuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika, untuk melakukan evaluasi dan penindakan tegas terhadap tayangan tersebut agar tidak terulang kembali.
“Negara harus hadir melindungi martabat warga negara dari penghinaan publik, apalagi terhadap tokoh agama yang menjadi penjaga moral bangsa,” pungkasnya.
Mafirion mengatakan, tayangan yang bersifat tendensiun dan menyinggung tokoh agama, dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kebebasan berekspresi yang bertentangan dengan prinsip HAM.
Ia meminta Trans7 meminta maaf dan menjelaskan kronologi penayangan tersebut secara terbuka.
Tulis Komentar