Kisruh Angkringan Hangtuah: Saat Rakyat Kecil Terseret Kepentingan

KILASRIAU.com - Kawasan angkringan di Jalan Hangtuah, Tembilahan, yang semula jadi tempat nongkrong warga kini berubah jadi sumber kisruh. Lapak-lapak kuliner yang dulu sederhana kini memicu tarik-menarik kepentingan.Pedagang ribut, warga terganggu, dan pemerintah tampak kehilangan kendali.
Akar persoalannya bermula dari rapat di kantor Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagtri). Rapat yang diharapkan menata pedagang justru berakhir panas. Pemerintah menetapkan ukuran lapak 3 x 6 meter, tapi sebagian pedagang menolak dan tetap memakai ukuran lama 6 x 3 meter. Akibatnya, tenda-tenda kembali semrawut, sebagian bahkan menutup trotoar dan badan jalan hingga menghambat akses kendaraan.
Namun masalahnya bukan sekadar ukuran lapak.Di balik tenda-tenda itu muncul dugaan adanya kepentingan lain. Komunitas KUMALA, yang sebelumnya mendapat izin resmi, kini disebut punya hubungan khusus dengan organisasi pengusaha muda (HIPMI). Sebagian pedagang merasa diperlakukan berbeda. Ada yang dibiarkan, ada yang ditekan. Di sinilah keadilan mulai dipertanyakan.
- Isu Mencuat! Dapur Arang di Pulau Cawan Kembali Beroperasi Kades : Tidak Benar, Silahkan Turun ke Lokasi
- Bea Cukai Aceh Akan Gelar Webinar UMKM Naik Kelas Siap Mendunia, Dorong UMKM Tembus Pasar Global
- 24 Business Assistant Kemenkop Mulai Bertugas di Inhil
- Upaya Bupati Inhil Menata, Melindungi, dan Memberikan Ruang Layak Bagi Pedagang Angkringan
- Operasional Koperasi Merah Putih Diluncurkan, Bupati Herman: Harus Jadi Motor Ekonomi Rakyat
_Ketika Aturan Tak Jelas, Kepentingan Bermain_
Kekacauan ini terjadi karena tata kelola yang kabur. Pemerintah lamban, komunitas jalan sendiri, dan pedagang bingung harus ikut siapa. Akhirnya ruang publik yang seharusnya untuk semua malah jadi rebutan.
Disdagtri perlu segera ambil sikap tegas dan terbuka. Langkah pertama, moratorium sementara. Hentikan penambahan dan perubahan lapak sampai semua data diverifikasi. Pastikan siapa yang benar-benar berjualan, siapa yang punya izin, dan siapa yang menempati lahan tanpa dasar.
Langkah berikutnya, buat denah resmi yang bisa diakses publik. Semua nama pedagang dan posisi lapaknya diumumkan agar tidak ada kesan pilih kasih. Setelah itu, bentuk asosiasi pedagang resmi yang dipilih demokratis. Kalau KUMALA ingin tetap berperan, silakan, tapi harus terbuka dan tunduk pada aturan pemerintah.
Dan bila benar ada hubungan khusus antara komunitas dan organisasi tertentu, pemerintah wajib melakukan audit independen. Ruang publik tidak boleh dikuasai oleh kepentingan pribadi.
_Menata Dengan Hati, Bukan Emosi_
Pemerintah berhak menata kota agar rapi, tapi jangan sampai penertiban dilakukan secara kasar dan terburu-buru. Di balik satu lapak ada keluarga yang menggantungkan hidup. Maka, penataan harus dilakukan dengan hati, bukan dengan emosi.
Pedagang juga harus sadar diri.
Mereka memakai ruang publik, jadi wajib ikut menjaga kebersihan, ketertiban, dan tidak mengganggu lalu lintas. Semua pihak punya tanggung jawab yang sama: menata, bukan saling menyalahkan.
_Menegakkan Keadilan di Bawah Tenda_
Kisruh di Angkringan Hangtuah hanyalah potret kecil dari persoalan besar: lemahnya manajemen ruang publik dan ketidaktegasan aturan.
Namun,kalau penataan dilakukan dengan terbuka dan adil, Tembilahan justru bisa menjadi contoh yang baik bagi daerah2 lain. Bahwa sebuah kota kecil pun bisa menata ruang publiknya tanpa mengorbankan rakyat kecil.
Dari persoalan kecil ini, kita bisa belajar. Bahwa keterbukaan, keadilan, dan komunikasi adalah kunci menyelesaikan konflik di akar rumput.
Mulailah dengan langkah sederhana: tertibkan dengan adil, atur dengan transparan, dan dengarkan suara pedagang serta warga. Karena dari sebatang sate dan segelas kopi panas di bawah tenda, keadilan bisa tumbuh, asalkan semua pihak mau duduk bersama tanpa kepentingan.
Tulis Komentar