Penetapan Tersangka Tanpa Pemeriksaan: Sah Secara Hukum, Tapi Rawan Uji Praperadilan

TELUK KUANTAN (KilasRiau.com) - Dalam proses hukum pidana, penetapan seseorang sebagai tersangka merupakan tahap penting yang menentukan arah penyidikan. Namun, kerap muncul perdebatan: bisakah seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa pernah diperiksa atau dimintai keterangan oleh penyidik?
Pertanyaan ini kembali mencuat seiring penanganan kasus Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Cerenti, Kabupaten Kuantan Singingi, di mana pihak kepolisian telah menetapkan empat tersangka meski keempatnya belum pernah diperiksa secara langsung.
Menurut praktisi hukum Aspandiar, SH, secara normatif hal tersebut dimungkinkan oleh hukum, sepanjang penyidik telah memiliki minimal dua alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
“Bisa saja seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa diperiksa, sepanjang penyidik telah memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup,” ujar Aspandiar. Kamis (16/10/2025).
“Namun, untuk menghormati hak asasi manusia dan prinsip keadilan, beberapa putusan pengadilan menganjurkan agar calon tersangka diperiksa terlebih dahulu.”
KUHAP memang memberi ruang bagi penyidik untuk menetapkan tersangka berdasarkan bukti yang cukup. Akan tetapi, prinsip due process of law atau proses hukum yang adil menuntut agar setiap orang diberi kesempatan membela diri sejak dini.
“Dalam KUHAP, dasar penetapan tersangka adalah dua alat bukti permulaan yang cukup. Tapi demi keadilan dan penghormatan terhadap HAM, sebaiknya tetap dilakukan pemeriksaan terhadap calon tersangka,” jelas Aspandiar.
Pendapat ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, yang menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan pemeriksaan calon tersangka. Putusan tersebut menempatkan asas keadilan dan perlindungan hak individu di atas sekadar formalitas hukum.
Aspandiar juga mengingatkan bahwa hasil pemeriksaan atau Berita Acara Pemeriksaan (BAP) bukanlah alat bukti dalam perkara pidana. Bahkan pengakuan bersalah sekalipun hanya dapat dijadikan bukti pendukung, bukan penentu tunggal status tersangka.
“Penyidik tidak mengejar pengakuan, melainkan mencari kebenaran materiil. Sekalipun sudah ada pengakuan, penyidik tetap wajib menggali bukti-bukti lain yang objektif,” ujarnya.
Dalam konteks kasus PETI di Cerenti, penetapan empat tersangka tanpa pemeriksaan bisa jadi sah secara hukum, tetapi berpotensi diuji melalui praperadilan. Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, merupakan sarana hukum bagi warga negara untuk menguji sah atau tidaknya penetapan tersangka, penangkapan, atau penahanan.
“Kalau merasa dirugikan, tersangka tetap berhak mengajukan praperadilan. Itu bagian dari kontrol terhadap aparat penegak hukum,” tegas Aspandiar.
Kasus PETI Cerenti menjadi cermin tarik menarik antara legalitas formal dan rasa keadilan substantif. Di satu sisi, hukum membolehkan penetapan tersangka tanpa pemeriksaan. Namun di sisi lain, semangat rule of law menuntut agar setiap tindakan penyidik tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan asas keadilan.
Penegakan hukum yang ideal bukan hanya soal kepastian, tapi juga keseimbangan antara prosedur dan rasa keadilan. Sebab, tanpa penghormatan terhadap proses, hukum kehilangan rohnya sebagai pelindung, bukan alat kekuasaan.*(ald)
Tulis Komentar