Bukan Hanya Sungai yang Rusak, Kuansing pun Menjerit

foto: ilustrasi (doc. Kilasriau.com)

KUANSING (KilasRiau.com) - Deru mesin dompeng terdengar lirih, namun cukup untuk memecah kesunyian malam di tepian Sungai Kuantan. Kilatan lampu senter menyorot rakit-rakit kayu yang disulap jadi tambang emas terapung. Aktivitas ini sudah menjadi pemandangan biasa, bukan hanya di sungai besar, tapi juga di lubuk-lubuk kecil, bahkan di tengah perkebunan. Masyarakat Kuantan Singingi menyebutnya PETI — Penambangan Emas Tanpa Izin.

Ironisnya, meski suara kecaman publik terus bergema, aktivitas PETI seperti sulit sekali diberantas. Publik pun makin geram. “Pemkab dan APH Kuansing ini paling jago tutup mata, bukan tutup PETI,” begitu suara sinis yang terdengar dari warung kopi hingga forum diskusi masyarakat.

Nyaris tak ada kecamatan di Kuantan Singingi yang luput dari aktivitas ini. Di Singingi, Singingi Hilir dan Pucuk Rantau, lubuk-lubuk kecil disulap jadi tambang emas. Di Hulu Kuantan, Inuman dan Cerenti, rakit dompeng berjejer di tepian sungai. Sementara di Kuantan Mudik hingga Kuantan Hilir, aktivitas PETI bahkan berani dilakukan tak jauh dari pemukiman warga.

Parahnya, bukan hanya sungai atau lokasi-lokasi strategis yang jadi sasaran. Perkebunan milik Pemda pun ikut digasak para pelaku PETI. Lahan yang seharusnya menjadi sumber pendapatan daerah justru berubah wajah jadi kolam-kolam galian. Bekas tambang menganga, meninggalkan genangan air keruh dan tanah tandus tak berguna.

Pola yang sama terus berulang. Razia dilakukan, rakit dibakar, aparat berfoto, lalu aktivitas kembali berjalan. Seolah-olah operasi hanya untuk formalitas.

Kecurigaan masyarakat pun bermunculan. Ada yang menuding ada beking oknum aparat, ada yang menyebut keterlibatan cukong lokal, bahkan dugaan kongkalikong dengan pejabat daerah. Namun sampai hari ini, semua hanya berhenti pada bisik-bisik tanpa tindak lanjut nyata.

Di tengah kecaman ini, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kuansing beberapa waktu lalu mencoba memberi penjelasan. Menurut mereka, solusi tidak cukup hanya dengan operasi tangkap tangan.

“Selain membuat perizinan untuk melegalkan pertambangan ini, juga harus mengupayakan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Upaya lain yang dilakukan adalah meningkatkan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan terkait seperti Kepolisian, TNI, Camat, Kades, pemangku adat, dan lain-lain,” ujar pihak DLH Kuansing.

Namun, pernyataan itu dianggap masih normatif oleh masyarakat. Pasalnya, koordinasi sudah sering digaungkan, tapi bukti di lapangan berkata lain: suara dompeng masih meraung setiap malam.

Pihak kepolisian pun tidak tinggal diam. Di berbagai media mereka kerap menegaskan bahwa razia terhadap PETI dilakukan secara rutin.

“Kami bersama TNI dan pemerintah daerah terus melakukan penertiban. Puluhan rakit sudah dimusnahkan di beberapa kecamatan,” kata seorang pejabat Polres Kuansing.

Hanya saja, aparat juga mengakui bahwa aktivitas ini kerap muncul kembali setelah operasi selesai. Modal besar, jaringan yang rapi, serta sulitnya pengawasan di lapangan membuat penindakan tak pernah tuntas. Seperti permainan kucing dan tikus, PETI selalu menemukan cara untuk bertahan hidup.

Dampaknya sudah nyata. Air Sungai Kuantan yang dulu jernih kini sering berubah keruh. Biota air berkurang drastis, lubuk-lubuk ikan mulai menghilang. Lahan pertanian warga yang berada di hilir tercemar lumpur. Kini ditambah lagi perkebunan Pemda yang rusak, memperparah kerugian daerah.

Data penelitian umum menyebut, setiap 1 hektare lahan tambang emas ilegal menghasilkan kerusakan tanah yang bisa pulih alami lebih dari 20 tahun. Sementara, pencemaran merkuri dan sianida yang digunakan PETI bisa bertahan ratusan tahun dalam ekosistem sungai.

Dari sisi ekonomi, kerugian Kuansing bisa mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Pendapatan asli daerah (PAD) hilang, perkebunan pemda rusak, dan petani kehilangan hasil panen karena sawah mereka tertutup lumpur.

Tak hanya itu, kesehatan masyarakat pun terancam. Kandungan logam berat dari limbah PETI berpotensi masuk ke rantai makanan, dari ikan sungai hingga beras di meja makan.

Kuansing ibarat daerah yang dikutuk. Kaya emas, tapi miskin ketegasan. Aktivitas PETI terus berjalan, seakan kebal hukum. Di atas kertas, operasi dilakukan. Di lapangan, suara mesin dompeng tetap meraung.

Pada akhirnya, publik hanya bisa berharap. Bahwa suatu saat nanti, Pemkab dan APH benar-benar serius, bukan sekadar ahli dalam tutup mata, tapi berani tutup PETI.*(ald)






Tulis Komentar