Alumni UI Isunya Monopoli Proyek Legal PLN Sejak Dir LHC Jadi Ketua Iluni FH, Mark Up Anggaran Jumbo Mencuat

KILASRIAU.com, Jakarta - Selain sang Dirut Darmawan Prasodjo alias Darmo, dalam beberapa bulan terakhir, sosok yang kerap menuai sorotan adalah Dirut Legal & Human Capital (LHC), Yusuf Didi Setiarto.

Diketahui, kedua sosok kontroversial yang kini bertengger sebagai pengendali di PLN, merupakan bekas orang dekat mantan Presiden Jokowi di lingkungan istana. Kala itu, Darmo dikenal sebagai mantan Deputi I KSP, sedangkan Yusuf Didi Setiarto adalah mantan Deputi II KSP.

Mari kita kupas sosok Yusuf Didi. Di kalangan pegawai PLN, pria asal Sumatera Barat ini dikenal bagai 'malaikai pencabut nyawa'. Karena terkait jabatan setiap pegawai, semua bisa dikendalikannya, di samping kebijakan Dirut sendiri. 

Setelah memegang jabatan strategis, pria berlatar belakang lawyer ini rupanya terendus mulai membangun dinasti baik di internal maupun di lingkup eksternal. 

Dengan kekuatan memegang jabatan strategis dan finansial yang bisa dikendalikannya, sosok yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT Energi Primer Indonesia (EPI) tersebut, juga membangun jaringan yang bisa disinerjikan dengan PLN.

Karena itu tak heran, jabatan sebagai Ketua Ikatan Alumni (Iluni) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) pun dengan mudah diraihnya. Belakangan muncul isu, jabatan tersebut bahwa jabatan itu merupakan barter dengan alumni FHUI lainnya, terkait proyek penyediaan legal  eksternal untuk PLN.

Indikasi itu semakin kental, karena berdasarkan informasi di lingkungan PLN Pusat, seluruh legal eksternal itu dimonopoli oleh alumni FH 'Yellow Jackets'. Bahkan dengan dalih kepentingan perusahaan, anggaran ratusan miliar pun dipersiapkan PLN.

Namun kini, berhembus isu tak sedap bahwa ada dugaan mark up anggaran pembiayaan bantuan hukum (legal) di PLN yang akhirnya tercium masyarakat luas.

Menimpali hal tersebut, Ketua Umum PP Ikatan Wartawan Online (IWO) H Teuku Yudhistira ketika dikonfirmasi juga mendengar sepak terjang Yusuf Didi Setiarto di PLN yang sudah sangat meresahkan. 

"Dengan power-nya sebagai Direktur LHC, menurut sejumlah pegawai PLN, Yusuf Didi kerap bertindak sesuka hati sekalipun melanggar aturan," ungkap Yudhistira di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

Bahkan Yudhistira juga mendapat kabar untuk merebut jabatan ketua alumni FHUI, Yusuf Didi menggelontorkan uang bernilai besar yang dibarter paket proyek dengan para pendukungnya, khususnya dalam urusan legal eksternal PLN.

Di dalam urusan internal, termasuk dalam menempatkan pejabat di bidang legal, lanjut Yudhis, pria kelahiran tahun 1974 itu juga cenderung tak peduli aturan.

"Ya misalnya saja pejabat pengadaan (VP Administrasi Hukum) yang saat ini menjabat, informasinya tidak memiliki sertifikat pengadaan barang/jasa. Padahal ini jelas tidak memenuhi syarat formal. Bahkan bekas anak buahnya di KSP dahulu turut didudukan langsung menjadi EVP direktorat hukum, padahal tidak diketahui rekam jejak dan latar belakangnya," bebernya.

"Lantas, apa dasarnya pengadaan jasa bantuan hukum, seminar dan workshop hukum di Sub Direktorat hukum PLN sementara orang yang ditempatkan tidak memiliki *capability* yang jelas. Lantas siapa yang mampu berbuat itu selain Yusuf Didi," tanyanya 

Masih berkaitan dengan UI, Koordinator Nasional Relawan Listrik Untuk Negeri (Re-LUN) ini juga menantang Yusuf Didi bersikap ksatria untuk berani transparan seperti harapan Presiden Prabowo kepada seluruh pejabat dijajarannya dalam menyukseskan program Asta Cita.

"Yang tidak berlebihan kalau legal di PLN didominasi alumnus FHUI karena memang penyedia jasa bantuan hukum, seminar, dan workshop, semuanya dari UI. Tapi bukan Yusuf Didi namanya kalau tidak bisa lolos dari lobang jarum.. Dia pintar karena dia sama sekali tidak ikut tanda tangan kontrak jasa hukum, karena yang tanda tangan itu Nurlely Aman, Senior Executive Vice President (SEVP) Hukum PLN," ujar Yudhis.

Dan untuk memuluskan semua sistem di Direktorat LHC PLN, kata dia, sejumlah pejabat bawahan Yusuf Didi turut berkomplot.

"Tapi jika penegak hukum baik KPK, Kejagung atau Kortas Tipikor mau turun tangan, selain periksa Yusuf Didi, juga periksa ⁠SEVP Hukum Nurlely Aman, EVP Bantuan Hukum Erik Nero dan ⁠VP Pengadaan Hukum Irawati. Karena itu, untuk mematikan langkahnya, APH harus gercep, karena kami dengar Yusuf Didi ini juga berambisi merebut kursi Dirut dari Darmo," pungkasnya.

Sementara itu, Direktur LHC Yusuf Didi Setiarto ketika dikonfirmasi via WhatsApp, tetap saja bungkam.

*Mahasiswa Soroti Yusuf Didi*

Sebelumnya, Koalisi Aksi Mahasiswa Nusantara (Kamnas), turut meneriakkan masalah yang melibatkan Yusuf Didi.

“Meminta kepada aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini Mabes Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan menyelidiki dugaan mark up dan praktik korupsi di LHC PLN dan menindak tegas oknum yang terlibat,” ungkap La Ode Armade, Koordinator Lapangan (Korlap) La Ode Armeda dalam tuntutannya, Jumat (19/9/2025).kemarin.

Kamnas turut meminta Yusuf Didi Setiarto dicopot dari jabatannya sebagai Direktur Legal and Human Capital (LHC) PT PLN.

Lalu, mendesak Kementerian BUMN dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit menyeluruh atas seluruh anggaran pembiayaan jasa hukum PLN di Direktorat LHC.

Mereka juga menuntut PLN membuka seluruh kontrak jasa hukum kepada publik sebagai wujud transparansi.

Bukan tanpa alasan Kamnas mendesak demikian, soalnya berdasarkan data yang dihimpun, persoalan ini berawal dari penempatan beberapa legal di PT PLN yang memiliki fungsi untuk menangani perkara yang terjadi di tubuh PLN. 

“Penempatan legal itu, dilakukan oleh bagian LHC,” lanjutnya.

Adapun LHC diketahui menugaskan Senior Executive Vice President (SEVP) sebagai pihak yang mengkoordinir sejumlah legal tersebut.

Berdasarkan informasi yang dihimpun oleh Kamnas juga bahwa setiap legal yang menangani perkara hukum PLN dianggarkan dan dibayar hingga belasan miliar rupiah sesuai kontrak resmi.

Namun menurutnya, pelaksanaannya tidak sesuai prosedur, terdapat informasi dimana para legal hanya menerima bayaran sekitar Rp1,5 miliar, jauh di bawah nilai kontrak yang mencapai Rp15 miliar.

“Selisih anggaran ini memunculkan dugaan kuat adanya praktik mark up dan potensi korupsi yang merugikan keuangan negara,” beber Armeda.

Pihaknya juga menilai perbedaan mencolok antara nilai kontrak dan realisasi pembayaran kepada legal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran serius dalam tata kelola keuangan perusahaan milik negara PT PLN.

Atas permasalahan tersebut, Kamnas berencana akan melaksanakan Aksi Demonstrasi dan melaporkan resmi dugaan mark up anggaran tersebut kepada KPK, Kejaksaan, Polri dan BPK.

Berdasarkan surat pemberitahuan aksi yang dilayangkan oleh Kamnas, ke Polda Metro Jaya, tertanggal 17 September 2025, dengan Nomor surat 113, merencanakan aksi pada Hari Senin tanggal 22 September 2025, dan kantor PT PLN Pusat sebagai titik aksi.






Tulis Komentar