Milad Riau ke-68: Saatnya Kepemimpinan Baru Selamatkan Pesisir dan Kebun Kelapa Rakyat Inhil

KILASRIAU.com – Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau, yang dikenal sebagai “negara kelapa” dengan luas kebun kelapa mencapai 423.934 hektare, kini menghadapi krisis ekologi serius akibat kerusakan hutan mangrove.
Kondisi ini mengancam keberlangsungan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor perkebunan dan perikanan.
Berdasarkan data Eco Nusantara dan BDPN, sekitar 75 ribu hektare kebun kelapa di Inhil telah terdampak intrusi air laut. Dengan nilai ekonomi rata-rata Rp30 juta per hektare per tahun, kerugian masyarakat diperkirakan mencapai Rp2,25 triliun setiap tahun.
- Forkopincam Concong dan Polsek Gelar Patroli Bersama, Pastikan Situasi Aman dan Kondusif
- BDPN Tegaskan Pemprov Riau Harus Memperhatikan Suara Masyarakat Adat Pulau Burung
- Polsek Tempuling dan Koramil 03 Gelar Patroli Bersama Masyarakat Menjaga Negeri
- Bhabinkamtibmas Kuala Sebatu Dorong Generasi Z Peduli Lingkungan Lewat Program Green Policing
- Kapolsek Pelangiran Hadiri Penanaman Jagung di Desa Teluk Bunian
Kerusakan terbesar tercatat di Desa Kuala Selat, di mana 144 keluarga kehilangan mata pencaharian karena kebun kelapa mati total. Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga mengungkap hilangnya ribuan hektare daratan pesisir, termasuk di Dusun Sungai Bandung, akibat kenaikan permukaan laut dan kerusakan tanggul.
“Mangrove adalah benteng alami yang melindungi kebun kelapa dan lahan pertanian dari abrasi serta intrusi air laut. Jika benteng ini rusak, seluruh sistem sosial-ekonomi ikut runtuh,” kata Zainal Arifin Hussein, Dosen Universitas Islam Indragiri (UNISI) sekaligus pemerhati lingkungan.
Kerusakan mangrove memicu lingkaran masalah: rusaknya hutan mangrove → meningkatnya intrusi air laut → matinya kebun kelapa → turunnya pendapatan → penebangan mangrove semakin masif → berkurangnya hasil laut → meningkatnya praktik tangkap ikan destruktif → kualitas hidup menurun → masalah sosial membesar.
Bagi masyarakat adat Suku Duanu, situasi ini menjadi bencana ganda. Selain kehilangan sumber daya laut akibat perubahan iklim, habitat sungai dan pesisir juga rusak oleh alat tangkap destruktif seperti setrum, racun, sondong, dan trawl mini.
Zainal menilai lemahnya koordinasi antara Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi Riau, dan Pemkab Inhil menjadi kendala utama. “Kebijakan berjalan di ruang-ruang terpisah, sementara masyarakat pesisir terus menanggung kerugian,” ujarnya.
Ia mendorong Pemprov Riau dan Pemkab Inhil segera menyusun Peraturan Daerah yang mengatur tata kelola pesisir dan mangrove secara adil, lestari, dan berkelanjutan.
Pemulihan mangrove, menurutnya, harus menjadi prioritas nasional dengan langkah seperti rehabilitasi partisipatif, penegakan hukum terhadap penebangan ilegal, penyediaan alternatif bahan bakar dan kayu, hingga pengembangan ekonomi pesisir berbasis ekowisata dan perikanan berkelanjutan.
“Sempena Milad Riau ke-68, dengan semangat kepemimpinan baru Gubernur Riau dan Bupati Inhil, rakyat menanti langkah konkret untuk menyelamatkan mangrove dan memulihkan kejayaan kelapa rakyat,” tegas Zainal.
Mangrove Inhil bukan hanya persoalan ekologi, tetapi juga menyangkut keberlangsungan ekonomi, identitas budaya, dan masa depan generasi. Jika kerusakan ini dibiarkan, pesisir Riau akan kehilangan benteng terakhirnya.
Tulis Komentar