Tekanan Presiden Trump Mereda, Harga Minyak Kembali Naik

Ilustrasi Minyak

KILASRIAU.com -- Harga minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) menguat pada perdagangan Senin (29/4), waktu AS. Penguatan terjadi seiring penurunan dampak dari sentimen pengetatan pengenaan sanksi AS terhadap Iran.

Sentimen tersebut mengungguli tekanan Presiden AS Donald Trump terhadap Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk mengerek produksi agar harga minyak bisa ditekan.  Dilansir dari Reuters, Selasa (30/4), harga WTI naik US$0,2 atau 0,3 persen menjadi US$63,5 per barel. 

Sementara, harga minyak mentah berjangka Brent justru merosot US$0,11 atau 0,2 persen menjadi US$72,04 per barel. Pada Jumat (26/4) lalu, kedua harga acuan merosot sekitar 3 persen setelah Trump mengatakan kepada awak media bahwa ia telah menghubungi OPEC dan meminta kelompok kartel tersebut untuk menekan harga minyak dengan menaikkan produksi mereka. 


Namun, Trump tak merinci siapa yang diajaknya bicara atau ia hanya berbicara mengenai pembahasan sebelumnya yang dilakukan dengan perwakilan OPEC. Efeknya, para analis dan pelaku pasar akhirnya mengacuhkan komentar tersebut mengingat rinciannya tidak jelas.

"Tidak ada perwakilan dari OPEC atau Arab Saudi yang maju untuk mengakui terjadinya pembahasan mengenai tersebut," ujar Pimpinan Ritterbusch & Associates Jim Ritterbusch.

Ritterbusch mengungkapkan upaya yang sangat jelas untuk menekan harga bensin pernah dilakukan Trump sebelumnya. Namun, penurunan harga yang terjadi langsung diikuti dengan kenaikan harga baru yang terkadang terjadi hanya dalam beberapa hari.

Komentar Trump awalnya memicu aksi jual hingga berhasil menahan reli penguatan harga sebesar 40 persen yang terjadi sejak awal tahun. Para analis menilai penurunan juga dipicu oleh faktor teknis lain seperti posisi beli spekulatif yang berlebihan pada harga minyak AS.

Sepanjang pekan yang berakhir pada 23 April 2019, para spekulator telah mengerek kombinasi beli bersih kontrak berjangka dan opsi di New York dan London sebesar 24.078 kontrak menjadi 326.818 kontrak, tertinggi sejak awal Oktober 2018. Kenaikan tersebut juga terjadi selama sembilan kali berturut-turut.

Reli kenaikan harga juga kembali mendapatkan momentum pada April setelah Trump memperketat sanksi terhadap Iran dengan menghentikan pemberian pengecualian terhadap sejumlah negara untuk bisa tetap mengimpor minyak dari Iran. Seorang pejabat senior Iran mengatakan sanksi AS terhadap industri perminyakan Iran akan mengganggu stabilitas pasar minyak global.

"Sanksi-sanksi ini adalah contoh AS yang sedang mengintimidasi reaksi untuk mengubah keseimbangan kekuatan di dunia," ujar Deputi Kementerian Iran Amir Hossein Zamaninia dalam laporan yang ditampilkan di situs berita resmi Kementerian Perminyakan Iran SHANA.

Pengetatan pasokan global juga dipengaruhi oleh pengenaan sanksi AS terhadap Venezuela dan pertikaian di Libya yang mengancam pasokannya. Produksi minyak dari anggota OPEC Libya telah beberapa kali terganggu oleh konflik dan blokade sejak 2011 yang terjadi untuk menjatuhkan kepemimpinan Muammad Gaddafi.

"Kami menghadapi pasar yang sebenarnya tidak kekurangan pasokan tapi kurang akibat aksi yang didorong untuk kepentingan politis, dan kita tahu seberapa cepat hal itu akan berbalik jika dibutuhkan," ujar Analis Saxo Bank Ole Hansen kepada Reuters.
 

Pelaku mengatakan pasar telah mengalihkan perhatiannya kepada kebijakan pemangkasan produksi OPEC. Saat ini pemimpin de facto OPEC adalah salah satu eksportir minyak terbesar dunia Arab Saudi.

"Kami berpandangan Arab Saudi akan mengerek produksinya paling cepat Mei, sesuatu yang kemungkinan akan mereka lakukan untuk menghadapi musim panas," ujar ING Bank.

Menurut ING Bank, OPEC dapat mengerek produksinya sembari tetap mematuhi komitmen pemangkasan produksi OPEC pada Mei mendatang. "Kami meyakini bahwa (penurunan harga) kemungkinan karena situasi di pasar berjangka yang pembeliannya berlebihan," ujar Commerzbank dalam catatannya.

Commerzbank menilai konsekuensi atas kondisi tersebut adalah sedikit ketidakpastian dapat memicu gangguan terhadap harga. Kendati demikian, mengingat situasi pasokan tetap ketat, kenaikan harga baru mungkin terjadi.






Tulis Komentar