Begini Cara Pemerintah Jepang Meminimalisir Dampak Gempa dan Tsunami
.jpg)
KILASRIAU.com- Gempa berkekuatan 7,4 magnitudo mengguncang tiga kabupaten dan ibu kota Sulawesi Tengah, yang disusul oleh tsunami setinggi tiga hingga empat meter menghantam Kota Palu dan Kabupaten Donggala pada Jumat, 28 September 2018.
Wilayah Palu dan sekitarnya sendiri pernah beberapa kali gempa yang tercatat pada tahun 1927, 1938 dan 1968. Berdasarkan catatan sejarah tersebut, belum lagi gempa-gempa cukup kecil lainnya yang cukup sering terjadi, hal ini mirip negara Jepang.
Perwakilan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) Goto Shinya yang ditemui di Bandara Mutiara SIS Al Jufri, Palu, Sabtu, tidak menampik hal tersebut. Dia menilai Indonesia dan Jepang memiliki lingkungan serta memiliki potensi yang sama terkait gempa dan tsunami.
- SMSI Inhil Gelar “Goes To School” di SMKN 2 Tembilahan, Bagikan Susu Gratis dan Edukasi Media
- HMI Komisariat Pertanian Unisi Gelar Kajian Dialogis Putusan MK No.135/PUU/XXII/2024
- 82 Mahasiswa Prodi S1 Ilmu Hukum UNISI Resmi Yudisium
- Bupati Inhil Jemput Bola ke Pusat, Usulkan Revitalisasi 10 Sekolah Lewat Dana APBN 2026
- Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Pemkab Wonogiri Teken MoU Perkuat Kolaborasi Lintas Sektor
"Kita (Jepang dan Indonesia) memiliki lingkungan yang sama dan banyak mengalami gempa bumi, tensinya juga sangat sering," kata Goto.
Akan tetapi, jika melihat dari jumlah korban, semakin zaman berganti, negara Jepang perlahan bisa mengurangi jumlah korban tersebut secara signifikan.
Tercatat, ada sekitar lima gempa besar dengan korban meninggal cukup besar yang sempat mengguncang Jepang, yakni pada November 684 (100-1.000 jiwa), 1 September 1923 (142.800 jiwa), 17 Januari 1995 (6.434 jiwa), 11 Maret 2011 (15.894 jiwa) dan 22 November 2016 (15 luka).
Sementara untuk gempa yang disusul tsunami, Jepang tercatat pernah enam kali mengalami tsunami dengan jumlah korban meninggal cukup besar yakni pada 20 September 1498 (sekitar 31.000 jiwa), 18 Januari 1586 (8.000 jiwa), 28 Oktober 1707 (30.000 jiwa), 24 April 1771 (13.486 jiwa), 15 Juni 1896 (27.122 jiwa) dan Maret 2011 (sekitar 2.000 jiwa).
"Ya kami cukup bisa menurunkan jumlah korban. Karena kami telah siap menghadapinya," ujar Goto.
Faktor pertama, ucap Goto, adalah kondisi bangunan di Jepang yang memiliki struktur cukup kuat untuk menahan gempa bumi.
"Akan tetapi yang utama dan terpenting, adalah komponen halusnya, yakni persiapan manusianya," tutur Goto.
Tulis Komentar