Ketika Pejabat Lebih Takut Terbuka daripada Bersalah

foto: aldian syahmubara (jurnalis)/ist. (doc. Kilasriau.com)

KILASRIAU.COM - Miris di Negeri yang Menyembunyikan Kebenaran

“Kebohongan yang dibungkus rapi tetaplah kebohongan. Dan diamnya pejabat di tengah keresahan rakyat adalah bentuk pengkhianatan yang paling halus.”

Miris.
Kata itu kembali bergema di tengah realitas bangsa yang makin kehilangan arah moral. Kita hidup di negeri yang katanya menjunjung tinggi keterbukaan, tetapi faktanya, ruang publik justru dipenuhi tirai tebal bernama kebohongan, pungutan liar, dan kesewenang-wenangan pejabat yang merasa diri kebal kritik.

Sudah terlalu sering kita mendengar cerita tentang pungli yang dibungkus rapi dalam istilah “biaya administrasi”, atau laporan pertanggungjawaban yang dipoles seolah sempurna padahal menyembunyikan kebocoran anggaran. Rakyat hanya bisa menonton, karena suara mereka kalah oleh kekuasaan yang punya akses, jaringan, dan keberanian untuk menutupi kebenaran.

Di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, contoh kemirisan ini tidak berhenti pada cerita. Ia nyata.
Kejaksaan Negeri Kuansing menerima titipan uang Rp 1,647 miliar dari pengurus BUMDes Bina Rakyat Desa Simpang Raya, Kecamatan Singingi Hilir, untuk perkara dugaan penyimpangan keuangan BUMDes tahun 2018–2024 (https://riaupos.co/riau/kuantan-singingi/04/02/2025/204798/kejari-kuansing-terima-uang-titipan-rp16-miliar-lebih/).

Masih di Kuansing, dua oknum PNS tertangkap tangan melakukan pungutan liar pada uji KIR di Dinas Perhubungan. Mereka meminta uang Rp 1,4 juta dari warga, untuk layanan yang seharusnya gratis atau berbiaya resmi jauh lebih rendah (https://riau.antaranews.com/berita/100427/pungli-uji-kir-2-pns-dishub-kuansing-terjaring-ott).

Lebih miris lagi, laporan dugaan pungutan liar di sekolah tingkat SMP juga mencuat, namun Kepala Dinas Pendidikan Kuansing memilih bungkam saat dikonfirmasi media (https://riau.harianhaluan.com/daerah/1115142427/dugaan-pungutan-liar-di-tingkat-smp-di-kuansing-kadis-tidak-memberikan-respon).

Semua ini memperlihatkan pola lama yang masih berulang: rakyat dibiarkan bingung, sementara pejabat bersembunyi di balik diam dan alasan birokrasi.

Lebih menyakitkan lagi, ketika pejabat publik — yang digaji dari uang rakyat — memilih bungkam saat diminta menjelaskan kebijakan atau dugaan penyimpangan.
Mereka seolah lupa bahwa keterbukaan informasi bukanlah kebaikan hati, tapi kewajiban hukum.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah jelas menyebutkan bahwa rakyat berhak tahu. Sayangnya, di banyak daerah, regulasi ini hanya indah di atas kertas. Di lapangan, banyak pejabat yang lebih memilih menutup rapat-rapat pintu ruang kerja daripada membuka data yang seharusnya menjadi hak publik.

“Ketika kebenaran disembunyikan, maka kebohongan tumbuh subur di bawahnya.”

Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum — ia adalah pengkhianatan terhadap moral publik. Ia mencuri bukan hanya uang rakyat, tapi juga harapan, kepercayaan, dan masa depan generasi berikutnya.

Budaya bungkam di tubuh pemerintahan daerah menjadi salah satu penyakit paling berbahaya.
Mereka yang berani bertanya dianggap mengganggu. Mereka yang menulis kebenaran dicap provokator.
Padahal justru dari suara publik dan kerja jurnalislah transparansi bisa tumbuh.

Namun, satu hal perlu diingat: rakyat kini tidak lagi buta.
Media independen, aktivis, dan jurnalis yang berpihak pada kebenaran akan terus menulis — meski penuh risiko. Karena kejujuran tidak akan pernah kalah oleh kebohongan, selama masih ada yang berani bersuara.

Sudah saatnya kita berhenti hanya merasa miris.
Karena kemirisan tanpa tindakan hanyalah kepasrahan.

1. Warga harus aktif menuntut transparansi — memantau penggunaan dana publik dan berani melapor bila menemukan pungli.

2. Media dan jurnalis wajib terus menggali, mengungkap, dan menulis fakta apa adanya.

3. Pemerintah daerah harus membuka akses informasi publik dan menghentikan tradisi bungkam yang merusak kepercayaan rakyat.

4. Penegak hukum mesti berani melangkah tanpa pandang bulu.

Kita mungkin hidup di masa penuh tipu daya, tapi selama pena masih menari dan suara nurani belum padam, harapan tidak akan mati.
Kepada para pejabat yang menutup mata dan telinga: ingatlah, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya.

Miris, memang.
Namun justru dari kemirisan inilah, kesadaran harus tumbuh —
bahwa kekuasaan tanpa integritas hanyalah kedok,
dan kebungkaman di tengah kecurangan adalah dosa sosial yang akan diingat sejarah.*(ald)

 

Oleh: Aldian Syahmubara

Jurnalis Kilasriau.com






Tulis Komentar