Aktivis 98 Erwin Sitompul,SP.d.Minta Presiden Prabowo Subianto Tindak Tegas

KILASRIAU.com  — Kebijakan kontroversial Gubernur Riau Abdul Wahid yang mewajibkan seluruh kendaraan operasional perusahaan di wilayahnya  menggunakan plat nomor polisi BM, memicu kegaduhan di ranah publik. 

Sorotan tajam datang dari Aktivis 98, Erwin Sitompul, yang bahkan menyerukan Presiden Prabowo Subianto untuk turun tangan dan menegur keras kebijakan yang dinilainya “aneh” dan berpotensi mengoyak semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ini bukan soal plat nomor semata. Ini soal bagaimana kita menjaga semangat persatuan di atas kepentingan daerah,” tegas Erwin dalam pernyataan tertulisnya, Ahad (5/10/2025).

Menurut Erwin, aturan yang dikeluarkan oleh Abdul Wahid tidak hanya diskriminatif, tapi juga menciptakan potensi konflik antar wilayah. Ia menilai, Gubernur Wahid gagal memahami makna nasionalisme dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan yang menjamin kebebasan mobilitas warganya di seluruh pelosok tanah air.

“Setiap kendaraan di Republik Indonesia itu bayar pajak ke negara, bukan ke provinsi. Jangan karena bayar pajaknya di daerah lain, lantas tidak boleh beroperasi di Riau. Itu preseden buruk bagi semangat NKRI,” ujar Erwin lantang.

Reputasi Gubernur Abdul Wahid Kian Tergerus: Isu Pemangkasan TPP Guru ASN 50 Persen untuk bulan Desember tahun 2025.

Di tengah polemik plat BM yang belum mereda, reputasi Gubernur Abdul Wahid kembali diterpa isu tak kalah panas — rencana pemangkasan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) bagi Guru ASN hingga 50 persen.

Isu ini sontak memantik gelombang kecaman, terutama dari kalangan pendidik dan pemerhati pendidikan di Riau.

Menurut Erwin Sitompul, langkah itu — jika benar dilakukan — merupakan bentuk pengkhianatan terhadap jasa para guru, yang selama ini menjadi garda depan mencerdaskan generasi bangsa.

“Kalau isu perihal pemotongan TPP Guru ASN 50 persen itu benar, saya mengecam keras kebijakan Gubernur Riau ini.Hal ini sangat menciderai hati para guru,para pahlawan tanpa tanda jasa,” tegas Erwin dengan nada tinggi.

“Apakah perlu di-Nepalkan Gubernur seperti ini?” sindir aktivis 98 yg juga aktivis pendidikan riau tersebut dengan nada sinis.

Istilah “Nepalkan” yang digunakan Erwin menggambarkan bentuk perlawanan simbolik terhadap kepemimpinan otoriter yang dianggap menindas rakyatnya.Ia menilai, isu pemangkasan TPP ini memperlihatkan bagaimana kebijakan Gubernur Abdul Wahid semakin menjauh dari kepentingan rakyat dan lebih menonjolkan ego kekuasaan.

“Ini bukan sekadar kebijakan anggaran.Ini menyangkut penghargaan terhadap profesi yang telah melahirkan ribuan generasi cerdas di Riau. Kalau guru saja diperlakukan seperti ini, bagaimana wajah pendidikan kita ke depan?” tambahnya.

Kebijakan “Nasionalisme Daerah”: Antara PAD dan Politik Populis

Diketahui, Gubernur Abdul Wahid sebelumnya mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh kendaraan operasional milik atau sewaan perusahaan yang beroperasi di Riau untuk menggunakan plat nomor BM—kode registrasi kendaraan untuk wilayah Riau.

Alasan Wahid? Demi optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak kendaraan bermotor.

“Ini bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap infrastruktur daerah. Tak ada alasan untuk tidak melakukan mutasi kendaraan. Kalau perlu, kita turunkan Bapenda ke lokasi,” ujar Wahid dalam pernyataan sebelumnya, dengan nada tegas yang mengisyaratkan tak ada ruang kompromi.

Namun, di mata publik, dua kebijakan ini—soal plat BM dan isu pemangkasan TPP guru—tampak memperlihatkan wajah baru kepemimpinan daerah yang keras, tidak komunikatif, dan cenderung populis.

Keduanya sama-sama dilihat sebagai upaya meningkatkan PAD dengan cara-cara yang justru berisiko menciptakan kegaduhan sosial.

Di satu sisi, Gubernur Wahid beralasan sedang memperjuangkan kepentingan daerah.

Namun di sisi lain, publik menilai langkahnya justru menabrak logika kebangsaan dan keadilan sosial.

“Kalau semua daerah berpikir seperti Gubernur Riau, Indonesia ini bisa terpecah jadi provinsi-provinsi kecil yang saling membatasi diri,” kata Erwin lagi.

Persimpangan Kebijakan:PAD vs NKRI

Kebijakan ini memunculkan pertanyaan lebih luas: sejauh mana pemerintah daerah berhak membatasi aktivitas ekonomi berbasis administrasi kendaraan atau memangkas hak kesejahteraan aparatur sipilnya atas nama efisiensi anggaran?

Sejumlah pengamat menilai, langkah Wahid memperlihatkan gejala “otonomi yang kebablasan” — ketika semangat memperkuat daerah justru berubah menjadi bentuk feodalisme administratif baru.

“Masalah seperti pajak kendaraan dan kesejahteraan guru seharusnya diselesaikan dengan pendekatan sistemik dan dialog, bukan dengan instruksi sepihak,” ujar seorang pengamat kebijakan publik di Pekanbaru.

Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi resmi dari Gubernur Abdul Wahid terkait isu pemangkasan TPP Guru ASN maupun desakan Aktivis 98 Erwin Sitompul agar Presiden Prabowo menegur keras kebijakannya.

Yang jelas, dua isu ini—plat BM dan TPP guru—telah menjadi cermin buram bagi kepemimpinan Wahid di Riau.

Bagi sebagian masyarakat, keduanya bukan lagi sekadar kebijakan administratif, melainkan simbol kepemimpinan yang kehilangan arah dan empati.**






Tulis Komentar