Ketika Kursi Ditentukan oleh Lidah, Bukan Karya

KILASRIAU.com - Dalam dunia kerja, khususnya di sektor publik, kita sering dihadapkan pada realitas yang membingungkan: mengapa mereka yang bekerja keras justru kerap dilangkahi oleh mereka yang pandai berbasa-basi? Mengapa mereka yang tekun dan cakap sering hanya jadi penonton saat promosi jabatan diumumkan?
Fenomena ini muncul karena sistem kita belum sepenuhnya berpijak pada meritokrasi sebuah prinsip bahwa jabatan dan tanggung jawab seharusnya diberikan berdasarkan kemampuan, integritas, dan prestasi nyata, bukan kedekatan, pujian semu, atau kepandaian dalam menjilat.
Meritokrasi bukan sekadar konsep modern atau hasil pemikiran Barat. Dalam perspektif Islam, prinsip ini justru sudah tertanam kuat sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah bersabda ;
- Elda Suhanura Gerakkan Mesin Alumni SMAN 1 Tembilahan untuk Majukan Sekolah dan Alumni
- Rapat Gabungan Organisasi Wanita, Tetapkan Hj. Katerina Susanti Sebagai Ketua
- Intimidasi Wartawan, Propam Polda Bali Gercep Periksa 3 Oknum Polisi
- Ketua IWO Riau Serukan Wartawan Jadi Penyejuk di Tengah Kerusuhan, Tegaskan Profesionalisme Pers
- HPPI Inhil 2025–2030 Resmi Dikukuhkan, Romi Irawan Terpilih Sebagai Ketua
"Barang siapa yang mengangkat seseorang dalam urusan kaum muslimin, padahal ia mengetahui ada orang lain yang lebih layak dari orang itu, maka ia telah berkhianat kepada Allah,Rasulnya dan kaum muslimin."
(HR. Al-Hakim)
Hadits ini menunjukkan bahwa dalam Islam, pengangkatan jabatan bukan soal relasi, bukan soal kepentingan pribadi, tapi soal kelayakan dan kapasitas. Karena jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, bukan sekadar status sosial atau alat gengsi.
Nabi Muhammad sendiri telah mencontohkan praktik meritokrasi saat memilih para pemimpin misi, komandan pasukan, bahkan pengelola zakat. Yang dipilih bukan yang paling dekat, bukan yang paling pandai memuji, tapi yang paling mampu dan amanah.
Sayangnya, saat ini kita justru menyaksikan kemunduran nilai itu. Kursi-kursi kekuasaan lebih sering diperebutkan oleh mereka yang pandai bersilat lidah. Yang naik bukan yang bekerja di balik layar, tapi yang pandai tampil di layar. Kita sedang mengganti nilai amanah dengan popularitas, mengganti kapasitas dengan kedekatan.
Ini bukan sekadar persoalan etika, tapi soal masa depan. Tanpa meritokrasi, kita sedang mencetak generasi penjilat, bukan pemimpin. _Kita sedang menanam benih ketakutan dan ketidakpercayaan dalam tubuh organisasi._ Dan yang lebih bahaya, kita memberi pesan bahwa _integritas bisa dikalahkan oleh kepintaran bersandiwara._
Sudah waktunya kita kembali ke akar nilai: baik secara moral, sosial, maupun spiritual. Menilai orang dari hasil kerjanya, bukan dari seberapa sering ia tampil di depan. Mengangkat mereka yang punya kapasitas, bukan mereka yang lihai bersandiwara.
Meritokrasi bukan mimpi. Ia adalah ajaran Islam. Dan ia hanya butuh keberanian untuk berkata: ‘yang pantas, yang naik’. Bukan ‘yang penjilat dan dekat, yang dapat’.
_Wallahu A'lam._
Tulis Komentar