Heboh soal Bung Hatta, Begini Kisah Keteladanannya

Repro foto Bung Hatta (Hasan Alhabsy/detikcom)

KILASRIAU.com - Jubir pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar,
mengibaratkan Sandiaga seperti Bung Hatta. Pernyataan itu kemudian menuai protes dari cucu Bung Hatta, Gustika Jusuf - Hatta.

"Kalau bagi saya nih mereka seperti, apa seperti, bagian baru dari model Bung Karno dan Bung Hatta. Pak Prabowo itu seperti kombinasi Bung Karno dan Jenderal Soedirman, sedangkan Bang Sandi itu adalah bagian baru dari Bung Hatta," kata Dahnil dalam video yang diunggah oleh akun Twitter Faldo Maldini, yang juga jubir Prabowo-Sandi.

Dalam video itu, awalnya Dahnil memperkenalkan satu per satu anak muda yang jadi jubir Prabowo-Sandi tersebut. Kemudian, dia bertanya alasan mereka yakin Prabowo-Sandi jadi presiden dan wakil presiden. Terakhir, Dahnil mendapat giliran mengungkapkan alasan dan muncul pernyataan tersebut.

Menanggapi pernyataan Dahnil, cucu Bung Hatta yang bernama Gustika Jusuf memprotes. Dia tak terima kakeknya dibawa-bawa untuk kepentingan politik.

"Tidak kenal dengan Bung Hatta tidak usah mengibaratkan sebagai Bung Hatta. tidak elok menggunakan nama beliau (dan Eyang Karno) demi kepentingan politik. I'm so done, setiap pilpres nama beliau digadai-gadai. it's getting old @Dahnilanzar" tulis Gustika sambil me-retweetvideo dari akun Twitter Faldo Maldini. 

Sosok proklamator yang bernama lengkap Mohammad Hatta itu lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi) pada 12 Agustus 1902. Nama lahir Hatta sebetulnya Mohammad Athar. Sejak kecil, Hatta dibesarkan di lingkungan Islam.

Hingga akhirnya Hatta menempuh studi ke negeri Belanda pada 1921. Dia belajar di Handels Hoge School di Rotterdam.

Menurut buku 'Mohammad Hatta: Buku 1 Kebangsaan dan Kerakyatan', yang diterbitkan LP3ES, Hatta kemudian mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging. Perkumpulan ini kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereniging.

Walau berkedudukan di Belanda, perkumpulan ini rupanya tegas menolak bekerja sama dengan negara tersebut. Akhirnya namanya kembali diganti menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).

Pada 1926, Hatta, yang masih berusia sekitar 24 tahun, sudah memperkenalkan nama 'Indonesia' saat menjadi delegasi dalam sebuah kongres perdamaian dunia di Prancis. Tapi sikap ini kemudian membuatnya dipenjara selama 5 bulan bersama sejumlah tokoh, salah satunya Ali Sostroamidjojo.

Hatta memang menempuh studi ekonomi. Namun dia lebih mencurahkan pemikirannya untuk kemerdekaan Indonesia ketimbang mempraktikkan ilmunya untuk berdagang.

Pemikiran Hatta agaknya bertautan dengan Sukarno, yang kemudian keduanya berduet. Meski hingga kini mereka dikenal sebagai dwitunggal, tak jarang Sukarno dan Hatta berdebat.

"Segera setelah aku keluar dari penjara, ketika anggota-anggotaku yang lama meminta supaya aku memasuki Partindo, aku menolak. 'Tidak,' kataku dengan tegas." "Pertama, saya harus berbicara dengan Hatta dulu. Saya ingin mendengar isi hatinya," kata Bung Karno seperti ditulis Cindy Adams dalam buku 'Penyambung Lidah Rakyat Indonesia'.

Menurut Sukarno, kala itu Hatta ingin menyiapkan rakyat lebih dulu sebelum memproklamasikan kemerdekaan. Pemikiran itu dikritik Sukarno. "Seorang lulusan Fakultas Ekonomi di Rotterdam, cara berpikirnya masih saja menurut buku-buku, mencoba menerapkan rumus-rumus ilmiah yang tidak dapat diubah ke dalam suatu revolusi," ujar Sukarno.

Sukarno dan Hatta juga pernah berbeda pandangan tentang bentuk negara. Sukarno mempertahankan pandangannya tentang bentuk negara republik, sedangkan Hatta punya pandangan berbeda. Meski demikian, setelah bersepakat, Sukarno hanya bersedia membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia jika didampingi Hatta.

Pandangan politik Hatta lainnya adalah ketika dia akan membentuk Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII) pada 1967. Meski banyak didengar oleh tokoh muslim, Hatta tetap berpegang pada Pancasila.

"Apakah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu, yang menjiwai seluruh Pancasila, tidak bisa diamalkan menurut paham Islam?" tanya Hatta seperti dikutip Mavis Rose dalam bukunya, 'Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta'.

Saat itu kepemimpinan nasional sudah berpindah dari Sukarno ke Soeharto. Hatta, yang merupakan tokoh proklamator, rupanya tak serta-merta mendirikan partai begitu saja. Dia tetap meminta izin kepada Soeharto dan akhirnya tak mendapatkan restu. Hatta menerima keputusan Soeharto itu.

Keteladanan Bung Hatta lainnya juga pernah diceritakan putrinya, Halida Hatta, yang tak lain adalah ibu Gustika Jusuf. Halida bercerita tentang ayahnya yang mengajarkan hidup apa adanya.

"Waktu saya lahir, ayah saya masih wapres, 1 tahun ayah saya sudah mundur dari wapres. Kita melihat ayah masih dihormati, ayah mendidik anak-anak sesuai dengan keadaan, ayah hidup dari uang pensiunan, tinggal di rumah yang dibeli sendiri," kata Halida saat mengisi Roadshow Bung Hatta Anti-corruption Award (BHACA) di Universitas Udayana, Jimbaran, Bali, Kamis (27/9/2018).

Halida juga menceritakan, setelah tidak menjabat wapres, Bung Hatta hidup dari uang pensiun dan royalti menulis buku atau tulisan di koran-koran. Sejak kecil, Halida juga diajarkan hidup apa adanya.

"Ayah-ibu kalau terbatas keuangannya kami dibilangin apa yang bisa kita beli bersama, tunggu dulu ya. Ibu saya strict kalau nilai kurang bagus tidak dibelikan. Kami seneng ke toko buku, alat tulis, ayah selalu mencatat pengeluaran. Kami tahu kok pengeluaran ayah-ibu, sumber dari pensiun, royalti buku berapa kami tahu kok, anak-anak tahu diri," urainya. 






Tulis Komentar