Ekonom Menjadi Sarankan Presiden Terpilih Naikkan Harga BBM

Ilustrasi harga BBM.

KILASRIAU.com -- Ekonom meminta kepada presiden terpilih untuk menjadikan kenaikan harga BBM penugasan menjadi agenda ekonomi pertama yang akan dilaksanakan usai dilantik pada Oktober mendatang. Pasalnya, menahan harga BBM di harga yang sekarang walaupun menyenangkan masyarakat, tapi bisa menimbulkan banyak masalah baru bila terus dilanjutkan.

Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengatakan kenaikan diperlukan karena tahun ini harga minyak berpotensi naik. Maklum, hingga Juni nanti negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC masih memangkas produksi mereka.

Pemangkasan berpotensi mengurangi pasokan minyak dunia sehingga harganya bisa naik. Gejala kenaikan harga saat ini sudah terasa. 

Gejala tersebut terlihat dari harga minyak Brent dan West Texas Intermediate (WTI) yang masing-masingnya sudah di angka US$74,17 per barel dan US$65,96 per barel. Asal tahu saja, harga tersebut sudah mendekati posisi tertinggi dalam enam bulan terakhir.

Kenaikan harga Premium setidaknya bisa meringankan beban finansial Pertamina. Apalagi, Pertamina adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang selalu menjadi "wajah depan" bagi perusahaan pelat merah lainnya. Jika keuangannya terus menurun, nantinya ini bisa jadi preseden buruk bagi pemerintahan.

Meski harga minyak terus naik, harga BBM bersubsidi justru tak diubah sejak 1 April 2016 silam. Harga jenis BBM jenis Solar masih dipatok Rp5.150 per liter dan Premium Rp6.450 per liter.

Padahal, dalam tiga tahun terakhir harga minyak sudah naik 79,32 persen. "Ini sangat mempengaruhi, apakah presiden terpilih nantinya berani menaikkan harga BBM atau tidak?" jelas Josua.

Josua mengatakan harga minyak, kenaikan harga BBM diperlukan demi kesehatan keuangan PT Pertamina (Persero). Beberapa tahun terakhir, Pertamina harus menanggung kerugian berjualan Premium karena harganya tak berubah meski harga minyak dunia terus menanjak. 

Apalagi, Premium bukanlah BBM bersubsidi  sehingga pemerintah tak membantu Pertamina dalam mengatasi beban yang mereka terima akibat kenaikan harga minyak tersebut.


"Kebijakan kenaikan harga BBM ini tidak populis, tapi ini penting agar tidak ada BUMN yang dirugikan," jelas dia.

Sebagai informasi, berdasarkan beberapa hasil hitung cepat, Calon Presiden Joko Widodo unggul atas lawannya Prabowo Subianto. Hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas 26,8 persen suara yang masuk, Jokowi juga mengungguli Prabowo dengan raihan 55,3 persen.

Meski nantinya terpilih, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi yakin Jokowi masih akan mengedepankan kebijakan populis. Menurut dia, sejatinya Jokowi dan Prabowo mengusung hal yang bersifat populis. 

Hanya saja, khusus Jokowi, ia menilai kebijakan populis Jokowi bersifat pragmatis dan teknokratik. "Kebijakan populis Jokowi terlihat seperti 'yang penting menguntungkan', sehingga terkesan tidak peduli dengan apa-apa yang tertera di dalam textbook," jelas Burhanuddin.






Tulis Komentar