Di Awal Mei Harga Minyak Bergerak Landai

Ilustrasi minyak. (Foto: REUTERS/Sergei Karpukhin)
KILASRIAU.com -- Harga minyak mentah berjangka dunia tak banyak bergerak pada perdagangan Rabu (1/5), waktu Amerika Serikat (AS). Kemungkinan perpanjangan kebijakan pemangkasan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mengimbangi kenaikan stok dan produksi minyak mentah AS menjadi sentimen pemicunya.


Dilansir dari Reuters, Kamis (2/5), harga minyak mentah berjangka Brent menguat US$0,12 atau 0,2 persen menjadi US$72,18 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, harga Brent sempat tertekan ke level US$71,3 per barel.

Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) melemah US$0,31 atau 0,5 persen menjadi US$63,6 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, harga WTI sempat melemah ke level US$62,77 per barel.

Harga Brent sebenarnya berhasil bangkit setelah Menteri Energi Oman Mohammed bin Hamad al-Rhumy mengatakan OPEC berkeinginan untuk memperpanjang kebijakan pemangkasan produksi pada pertemuan yang akan digelar pada Juni 2019 mendatang.

Selain itu, pengetatan pemberlakuan sanksi terhadap ekspor minyak Iran juga mendorong harga minyak. Pengetatan tersebut dilakukan dengan menghentikan pengecualian bagi sejumlah negara untuk tetap dapat mengimpor minyak dari Iran mulai 1 Mei 2019. 
Sejauh ini, harga minyak mentah dunia telah menguat lebih dari 30 persen karena kebijakan pemangkasan produksi  sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) yang dilakukan OPEC sejak awal tahun. April lalu, secara bulanan, Brent menguat 6,5 persen dan WTI 6,3 persen. 

Dengan kondisi tersebut artinya, kedua harga acuan telah menguat selama empat bulan berturut-turut. AS telah meminta OPEC untuk mengerek produksinya demi mengimbangi berkurangnya pasokan dari Iran.

Namun, Arab Saudi yang merupakan pemimpin de facto OPEC menyatakan OPEC tidak memiliki rencana untuk segera mengabulkan permintaan AS tersebut. Bahkan, kebijakan pemangkasan tersebut dapat diperpanjang hingga akhir 2019.

Harga minyak mentah juga mendapatkan dorongan dari Venezuela yang mengancam ekspor minyaknya. Ekspor Venezuela sendiri telah berkurang karena pengenaan sanksi AS.

Pada Rabu (1/5) kemarin, ribuan pendukung pemimpin oposisi Venezuela Juan Guaido menggelar aksi unjuk rasa melawan pemerintahan Presiden Venezuela Nicolas Maduro. Banyak pengamat khawatir, aksi protes tersebut dapat meningkat menjadi aksi kekerasan dan mengganggu pasokan minyak mentah Venezuela kendati lokasi lapangan minyaknya jauh dari ibu kota Caracas.


Kendati demikian, masih belum jelas apakah China akan mematuhi kebijakan AS tersebut.

"Mereka yang menggunakan minyak sebagai senjata melawan 2 anggota pendiri OPEC sedang mengganggu persatuan OPEC, menciptakan kematian dan kehancuran," ujar Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh pada Rabu (1/5) kemarin.

Namun di tengah sentimen positif tersebut, Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) mencatat persediaan minyak mentah AS melonjak 9,9 juta barel menjadi 470,6 juta barel pada pekan lalu. Pasokan tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2017. 

Kenaikan tersebut terjadi akibat impor tumbuh ke level tertinggi sejak Januari 2019 lalu. Selain itu, aktivitas kilang juga merosot menjadi di bawah 90 persen dari total kapasitasnya.

Produksi minyak mentah AS juga melesat menjadi 12,3 juta barel per hari (bph) pekan lalu. Sebagai catatan, saat ini, AS merupakan produsen minyak terbesar di dunia, mengungguli Rusia dan Arab Saudi.

"Penurunan aktivitas kilang dan kenaikan impor (minyak mentah AS) telah membantu mendongkrak persediaan minyak mentah yang besar lagi," ujar Direktur Riset Komoditas ClipperData Matt Smith kepada Reuters.

Smith mengungkapkan sebagian besar kenaikan stok minyak AS terjadi di Pantai Teluk di mana aktivitas kilang menurun dan impornya meningkat.






Tulis Komentar