Risiko Permintaan Lemah, Harga Minyak Menguat Pekan Lalu

Ilustrasi

KILASRIAU.com -- Kekhawatiran yang mereda terkait risiko pelemahan permintaan global mendongkrak harga minyak mentah sepanjang pekan lalu. Selain itu, penguatan harga minyak juga dipicu oleh kemungkinan eskalasi konflik di Libya yang dapat memperketat pasokan minyak.

Dilansir dari Reuters, Senin (8/4), harga minyak mentah berjangka Brent pada Jumat (29/3) ditutup di level US$70,34 per barel atau naik sekitar 4 persen dari level penutupan pekan sebelumnya US$67,58 per barel. 

Selama sesi perdagangan berlangsung, harga Brent sempat menyentuh level US$70,46 per barel, tertinggi sejak 12 November 2018. Kenaikan harga Brent sudah terjadi selama dua pekan berturut-turut.

Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) selama lima pekan berturut-turut. Secara mingguan, harga WTI menguat sebesar 4,8 persen dibandingkan pekan sebelumnya menjadi US$63,08 per barel. Harga WTI sempat menembus US$63,24 per barel selama sesi perdagangan berlangsung, tertinggi sejak 6 November 2018. 

Mesin upgrader merupakan mesin yang dapat mengubah produksi minyak mentah ekstra berat yang diproduksi di Orinoco Belt menjadi minyak mentah dengan kualitas ekspor yang bisa digunakan di kilang luar negeri.

Pada Jumat (5/4) lalu, Kementerian Ketenagakerjaan AS melaporkan percepatan pertumbuhan tenaga kerja AS pada Maret 2019 setelah sempat tertekan ke level terendah dalam 17 bulan terakhir. Hal ini sedikit meredakan kekhawatiran atas risiko pelemahan permintaan minyak mentah global.

"Data ini akan cukup untuk menjaga harga minyak di atas US$60 per barel, setidaknya untuk beberapa pekan ke depan," ujar Analis Komoditi Senior RJO Futures Josh Graves di Chicago seperti dikutip Reuters. 

Di Libya, aksi militer yang dapat mengganggu pasokan minyak juga turut mendongkrak harga. Sebagai catatan, Libya merupakan salah satu anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).

Pada Kamis (4/4), Komandan Libya Bagian Timur Khalifa Haftar memerintahkan pasukannya untuk bergerak ke Tripoli. Hal ini mengeskalasi konflik dengan pemerintah setempat. 

"Perkembangan situasi di Libya juga mendorong (harga minyak), namun, untuk sekarang, minyak terus mengalir dan sepertinya akan terus begitu," ujar Partner Again Capital LLC John Kilduff di New York.

Harga minyak juga turut mendapatkan dorongan dari potensi perlambatan laju produksi dari Venezuela, seiring pengenaan sanksi AS dan gangguan pemadaman listrik.

Sumber Reuters menyatakan perusahaan minyak pelat merah Venezuela PDVSA memperkirakan mesin upgrader minyak mentah akan beroperasi di bawah kapasitasnya pada bulan ini.


Penguatan harga minyak juga ditopang oleh optimisme berakhirnya perang dagang AS-China. 

Pekan ini, negosiator perdagangan AS-China akan melanjutkan perundingan melalui konferensi video. Hal itu disampaikan oleh Penasihat Gedung Putih Larry Kudlow pada Jumat (5/4) lalu.

Sementara itu, Baker Hughes mencatat perusahaan energi AS mengerek jumlah rig pengeboran minyaknya sebanyak 15 rig pekan lalu. Kenaikan tersebut terjadi untuk pertama kalinya dalam tujuh pekan terakhir. Artinya, produksi minyak AS berpotensi menanjak ke depan.

Pekan lalu, pemerintah AS mencatat produksi minyak mentah domestik telah menembus 12,2 juta barel per hari (bph), terbesar di dunia. 






Tulis Komentar