Syekh H. Muhammad Hadi (1852-1977) Mufti Indragiri dari Kuantan Singingi
KILASRIAU.com, Taluk kuantan - Banyak ulama tanah air yang menimbah ilmu di Tanah Suci. Bahkan di antara mereka ada yang menjadi GURU di Tanah Suci tersebut.
Sebut saja dari Sumatra Barat ada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Sulaiman ar-Rasuli, Syekh Jamil Jaho, Syekh Abdul Karim Amarullah dan anaknya: Buya Haji Abdul Malik Karim Amarullah yang lebih dengan7 kenal dengan sapaan Buya HAMKA.
Dari Kalimatan Selatan ada Syekh Ali Junaidi Berau dan Syekh Awang Kenali Berau. Syekh Ahmad Dimyati dari Banten, Syekh Abdullah Zawawi dari Sumatra Selatan, Syekh Abdul Qodir Mandailing dari Sumatra Utara, Syekh Umar as-Sumbawi dari Nusa Tenggara Barat dan Syekh Hasyim Asy’ari dari Jawa Timur, dan lainnya.
- Serapi Aspirasi Masyarakat, Daeng Amhar Anggota DPRD Provinsi Kepri Gelar Reses di Pulau Sedanau Natuna
- Prudential Syariah Hadirkan PRUCritical Amanah, Perlindungan Menyeluruh terhadap Risiko Penyakit Kritis Sejak Tahap Awal
- Pj Ketua TP PKK Kartika Gelar Yasinan Bulanan di Rumah Suluk Bupati Inhil
- HMI Cabang Bengkalis Keluarkan SK Pemecetan Terhadap Salah Satu Anggota
- Menjawab Dua Kasus Besar yang Berkembang di Masyarakat, Kejari Inhil Gelar Konferensi Pers
Dari Riau tepatnya dari Kabupaten Kuantan Singingi ada nama Syekh H. MUHAMMAD HADI gelar Engku Angin. Ulama besar Tanah Air yang kharismarik itu lahir di Desa Sungai Alah, Kecamatan Hulu Kuantan, Kuantan Singingi, Riau tahun 1852.
Ketika berangkat ke Tanah Suci – Mekkah, Syekh Hadi atau Datuk Hadi sapaan akrabnya dalam keluarga besarnya membawa istri SITI MARIAM dari Malaysia. Di Tanah Suci itulah Syekh Hadi memperdalam ilmu agama kepada ulama terkenal di Mesjidil Haram (Mekkah) dan Mesjidil Nabawi di Madinah kurun waktu 1925 s.d. 1939.
Sebelumnya Syekh Hadi mempelajari ilmu agama kepada guru dan ulama terkenal dari pelbagai daerah. Mulai dari Sumatra Barat, Indragiri hingga negara tetangga Malaysia.
Di Mekkah, Syekh Hadi lama belajar dengan banyak ulama dan menghadiri majelis ilmu ulama Hijaz yang terkemuka di Tanah Suci tersebut. Tak hanya berguru dengan ulama yang berasal dari Tanah Suci, Syekh Hadi juga berguru kepada ulama yang berasal dari ulama Tanah Air Indonesia.
Syekh Hadi juga belajar banyak mengikuti halaqah-halaqah ilmu di Mesjid Nabawi, Madinah. Halaqah merupakan perkumpulan dua orang atau lebih yang membahas urusan-urusan keilmuan, khususnya ilmu agama. Dalam halaqah, para jemaah duduk melingkar sehingga bisa saling berhadapan ketika berkomunikasi.
Dan, sebelum pulang dari Tanah Suci ke kampung halamannya di Kuantan Singingi, Syekh Hadi mendapat gelar MUFTI INDRAGIRI. Gelar itu diberikan karena selama di Tanah Suci, Syekh Hadi merupakan wakil SYEKH INDRAGIRI dalam membina jemaah haji INDRAGIRI dan KAMPAR di Makkatul Mukarramah.
Gelar tersebut diberikan Sultan Indragiri yaitu SULTAN MAHMUD SHAH yang berkedudukan di RENGAT. Gelar itu diberikan karena ketinggian dan kecerdasan ilmu yang dimilikinya dalam bidang agama.
Selain Syekh Hadi, ulama yang mendapat gelar Mufti Indragiri di antaranya adalah TUAN GURU SAPAT mempunyai nama lengkap Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif bin Mahmud bin Jamaluddin al-Banjari.
Tuan Guru Sapat dilahirkan di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan, pada tahun 1284 Hijriah atau tahun 1857 Masehi. Dia diangkat sebagai Mufti Indragiri pada 1327 H/1910 M hingga 1354 H atau 1935 Tuan Guru Sapat yang terkenal luhur, tulus, dan ikhlas ini tutup usia pada 4 Sya’ban 1358 H atau 18 September 1939
DALAM kesehariannya, Syekh Hadi dikenal selalu mengajak masyarakat untuk memeluk agama Islam di negeri Rantau Kuantan. Ia ulama yang tak kenal lelah memperjuangkan tumbuh kembang agama Islam. Ia gigih dalam meneggakan amar makruf nahi mungkar.
"Datuk merupakan seorang ulama yang sangat ramah, santun, dan sederhana," ungkap salah seorang cucunya Ir. Nariman Hadi, M.M yang saat ini bekerja sebagai Dosen di Universitas Islam Kuantan Singingi.
Dikatakannya, Syekh Hadi merupakan sosok yang dikenal sangat hafal Alquran dan ratusan hadist. Peninggalannya berupa buku pegangan, baik tentang tasauf, tauhid, dan fiqih masih tersimpan rapi.
Bukunya masih bisa ditemukan di Surau Tinggi di Desa Sungai Pinang Komunitas Baca Pondok Pesantren Darunnajah di kampung halamannya di Jl. Pendidikan Desa Sungai Alah, Kecamatan Hulu Kuantan kode pos 29544. Selain itu ada di Perpustakaan Ma'ripat Mardjani di MAN 1 Kuantan Singingi di Telukkuantan.
Pondok Pesantren Darunnajah didirikan anaknya tunggalnya Fatimah Hadi tahun 2000 berlokasi di atas tanah warisan Datuk Engku Angin. Baik yang di arena Surau Tinggi maupun MTs.
Pondok ini berada dibawah naungan Yayasan Riau Bulletin (YRB) yang didirikan menantu Syekh Hadi atau suami Fatimah Hadi, Buya Ma’rifat Mardjani.
Pada saat mendirikan Pondok Pesantren Darunnajah di Desa Sei Alah, YRB bekerja sama dengan Pondok Pesantren Darunnajah, Ulu Jami, Jakarta selatan. Tetapi sekarang tidak lagi. YRB sekarang dipimpin oleh Dra. Hafny Ma'rifat, M.Pd.
Sampai saat ini Pondok ini masih berjalan dengan baik dengan fasilitas pendidikan mulai tingkat TK, Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah, dan MTs.
Pengawasan pondok dilakukan oleh anak-anaknya yang berada dalam kepengurusan yayasan. Kini alumninya tersebar di berbagai daerah dengan jenis pekerjaan yang beragam.
DARI Pernikahannya dengan Siti Mariam lahirlah Fatimah Hadi di Makkatul Mukaramah pada 15 Agustus 1927. Fatimah Hadi dikenal sebagai seorang pejuang perintis kemerdekaan dan tokoh pendidikan di Riau.
Kemudian sang anak tunggal ini menikah dengan Buya Ma’rifat Mardjani yang dikenal sebagai ulama, pejuang kemerdekaan, politisi Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah, wartawan, tokoh pendiri Provinsi Riau, dan Perintis Universitas Riau, Pekanbaru.
"Saya bangga atas banyaknya ulama termasuk datuk kami Syekh Hadi yang berhasil menyebarkan dan mengajarkan agama Islam di daerah pada masa itu," kata cucunya yang lain: Dra. Hafny Ma’rifat M.Pd yang pernah mengajar di Pusat Pengembangan Bahasa (PB) UIN SUSKA Riau.
Syekh Hadi meninggal dunia dalam usia 125 tahun pada 27 Maret 1977. Dimakamkan di pemakaman milik keluarga di Desa Sungai Alah, Hulu Kuantan.
Kini ada tiga tokoh penting tanah air asal Kuantan Singingi, Riau di makamkan di situ. Yakni Syekh Mohammad Hadi, Buya Ma’rifat Mardjani dan Fatimah Hadi. Ketiga tokoh ini sebenarnya layak diperjuangkan menjadi Pahlawan Nasional dari Riau.
Gajah mati meninggalkan gading.
Harimau mati meninggalkan belang.
Manusia mati meninggalkan nama.
Ketiga tokoh asal Kuantan Singingi itu selalu diingat atas jasa-jasanya meskipun mereka sudah lama meninggal dunia.
Orang bijak mengatakan, nama baik itu lebih berharga daripada harta. Disaat orang meninggal dunia, nama baiklah yang dikenang.
Ketiga tokoh ini meninggalkan nama baik yang tetap dikenang sepanjang hayat.
Amin….
Tulis Komentar