Wacana Gaji Pengangguran, Antara 'Caper'/ Lepas Tangan

Ilustrasi tega kerja

KILASARIAU.com - Kementerian Ketenagakerjaan kembali melempar wacana 'gaji pengangguran ' lewat program jaminan sosial tenaga kerja,  yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dan Jaminan Pelatihan dan Sertifikasi (JPS).

Kemnaker berniat dua program ini nantinya menambah panjang daftar program jaminan sosial tenaga kerja yang dilayani oleh BPJS Ketenagakerjaan.  Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri bilang program tambahan tersebut perlu di tengah perkembangan dunia kerja yang dinamis. 

Melalui JKP, dalam kurun waktu tertentu, sebut saja enam bulan, pekerja yang kehilangan pekerjaannya tetap mendapatkan pemasukan setiap bulan. Sementara, JPS lebih untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga bisa menjadi modal dalam mencari pekerjaan baru. 

Menurut Pengamat Ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi, dua program baru yang digagas pemerintah bersama BPJS Ketenagakerjaan sebetulnya bukan benar-benar program baru. Praktik yang sama sudah dilakukan di Malaysia dan negara-negara lainnya. 

Ia, yang mendampingi Hanif saat studi banding ke Malaysia, memaparkan tujuan utama JKP dan JPS adalah meningkatkan keahlian pekerja untuk menjawab peralihan ke industri berbasis teknologi seperti sekarang ini. "Jadi, tidak serta merta orang kehilangan pekerjaan akan dibayar. Bukan seperti itu," ujarnya, Rabu (14/8). 

Selain itu, pelatihan vokasi juga memungkinkan pekerja mengetahui informasi spesifikasi keterampilan yang sedang banyak dibutuhkan di pasar tenaga kerja untuk mempermudah pekerja menentukan pelatihan keterampilan apa yang ingin diikuti. Kendati demikian, BPJS Ketenagakerjaan tengah melakukan kajian mendalam terkait JKP dan JPS. Eks PT Jamsostek ini bahkan mengaku telah melakukan uji coba di beberapa unit kerjanya di Banten dan DKI Jakarta. Wacana JPS juga terkesan sebagai bentuk negara melempar tanggung jawab kepada pekerja dan pengusaha. Sebab, sudah seharusnya pemerintah menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam memberi keterampilan secara gratis kepada pekerja korban PHK sebagai kompensasi. Walaupun, ia mengakui program JKP dan JPS masih sebatas wacana Hanif Dhakiri. Toh, belum ada diskusi mengenai penyelenggaraan program itu. "Secara politis, pandangan saya jangan mentang-mentang Anda (Hanif) mau habis masa jabatannya, ingin terpilih lagi, Anda membuat pernyataan-pernyataan yang mencari perhatian," terang dia. Caper atau Lepas Tangan Namun, ia mengingatkan agar kedua program tambahan bisa dilakukan, pemerintah perlu merevisi undang-undang terkait. Perlu dasar hukum yang mengatur masalah penggunaan dana BPJS Ketenagakerjaan. "Di Malaysia, saat mau menjalankan itu (program), mereka buat undang-undang baru," jelas Tadjudin. 

Selain itu, perusahaan yang mengikutsertakan pekerja mereka dalam program ini juga sebaiknya diberikan insentif oleh pemerintah. Insentif itu bisa saja berupa pemotongan pajak. 

Pendapat berbeda disampaikan Pengamat Perburuhan Susilo Andi Darma. Ia menuturkan wacana mensejahterakan tenaga kerja sebetulnya sudah terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Misalnya, skema JPS juga diatur dalam pelatihan dan pemagangan kerja yang dilakukan Balai Latihan Kerja. 

Sementara, JKP sudah diatur dalam skema pesangon yang bertujuan sebagai jaminan pekerja yang di-PHK. "Menurut saya lebih baik pemerintah fokus pada dua hal tersebut. Yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan benar-benar dilaksanakan. Sehingga, tidak perlu menginisiasi program baru," ungkapnya. 


Alih-alih menyodorkan program baru, Ketua Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat menilai Kemnaker sebaiknya fokus untuk menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan yang lebih substantif. Misalnya, penciptaan lapangan kerja, perbaiki daya beli buruh melalui peningkatan upah. 

"Mohon maaf, dalam lima tahun terakhir, pengangguran makin banyak. PHK massal di mana-mana," imbuh dia, menambahkan bahwa 50 ribu anggota ASPEK terkena PHK massal dari berbagai sektor, mulai jasa keuangan, jalan tol, ritel, media, pos, hingga farmasi. 

Memang penciptaan lapangan kerja bukan tugas Kemnaker semata. Namun, diharapkan Kemnaker meminimalkan permasalahan yang ada. Misalnya, dengan meningkatkan lobi kepada perusahaan atau berkoordinasi dengan kementerian/lembaga untuk mengundang investor. 

Karenanya, Mirah menilai ada baiknya pemerintah mengoptimalkan pengelolaan program yang sudah ada. Sementara, JKP dan JPS tetap menjadi tanggung jawab negara melalui program pemerintah. Dengan begitu, pekerja dan perusahaan tidak mendapatkan beban tambahan iuran demi pelaksanaan program baru. 


Sekretaris Jenderal ASPEK Sabda Pranawa Jati menambahkan apabila JKP dan JPS dibebankan pada BPJS Ketenagakerjaan, ia khawatir beban iuran bakal bertambah. Ia juga pesimistis dan menilai manfaat yang akan diperoleh dari iuran bisa dipastikan tidak mampu memberikan manfaat maksimal bagi pemenuhan kebutuhan hidup layak pekerja. 

"Mau dibebankan iuran berapa, agar manfaatnya bisa sebanding dengan kebutuhan hidup layak pekerja dan keluarganya?" tanya dia. 

Sementara, lanjut Sabda, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, pemerintah telah gagal membangun sistem pengupahan yang berkeadilan dan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. 


"Menaker sebaiknya tidak perlu membangun wacana yang seolah-olah indah, namun ujung-ujungnya membebani pekerja dan minim manfaatnya," tegas Sabda. 

Kaji Program 

Sementara itu, BPJS Ketenagakerjaan selaku pengelola program jaminan sosial tenaga kerja tampak bersemangat dengan rencana penambahan dua program baru. Meskipun berdalih hanya melaksanakan tugas, pokok, dan fungsi sesuai UU dan ketentuan yang berlaku. 

Dalam hal ini, sesuai UU 24 Tahun 2011, BPJS Ketenagakerjaan hanya menyelenggarakan 4 program, yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP). 


"Prinsipnya kami mendukung program pemerintah meningkatkan kesejahteraan pekerja. Namun, saat ini,(JKP dan JPS) menjadi program kerja tambahan sampai ada regulasi yang bisa mengakomodasi pelaksanaan program jaminan dimaksud," terang Deputi Direktur Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja. 

Meski belum menjalankan program JPS, BPJS Ketenagakerjaan mengklaim telah lebih dulu melaksanakan kegiatan pelatihan vokasi. Dengan pelatihan, diharapkan bisa memberikan peluang kepada pekerja yang terkena PHK untuk mendapat kesempatan meningkatkan atau mendapatkan keterampilan baru. 

"Pelatihan ini selaras dengan visi Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode 2019-2024, yaitu SDM yang kompeten," paparnya. 


Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ikut menanggapi rencana penambahan dua program jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan. Menurut Kadin, sebaiknya program menjadi satu paket dengan reformasi ketenagakerjaan (labor reform) demi kepentingan semua pihak. 

"Memang ada baiknya program BPJS Ketenagakerjaan bisa lebih komprehensif tapi sebaiknya merupakan bagian dari labor reform, termasuk perubahan Undang-undang yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Antonius Joenoes Supit. 

Menurut Anton, masalah ketenagakerjaan sangat sensitif dan gampang dipolitisasi. Oleh karenanya, apabila ada perubahan harus ada dilakukan secara komprehensif. Dalam hal ini, perubahan jangan sampai merugikan buruh dengan memberikan kompensasi atas perubahan tersebut.






Tulis Komentar