3 wananita: Susy Susanti, Eni Nuraini, dan Lasmi Indaryani: Kartini dari Gelanggang Olahraga

Susy Susanti (Peter Parks/AFP)

KILASRIAU.com - Selamat Hari Kartini. Susy Susanty, trio srikandi,  Defia Rosmaniar, Eni Nuraini, dan Lasmi Indaryani simbol semangat kesetaraan dari arena olahraga. 

Predikat bergengsi diraih Eni Nuraini di bulan April 2019. Dia dinobatkan sebagai pelatih terbaik Asia. 

Eni memang berhasil menggembleng pemuda dari Lombok Utara, Lalu Muhammad Zohri, menjadi yang tercepat di nomor 100 meter Kejuaraan Dunia Atletik Junior 2018 di Finlandia. 

Di bawah asuhan Eni, tim lari estafet 4x100 meter putra (Fadlin, Zohri, Eko Rimbawan, dan Bayu Kertanegara) juga mencatatkan rekor di Asian Games 2018 Jakarta. Mereka berhasil meraih medali perak, cuma kalah dari Jepang. 

Eni, yang dulu merupakan perenang andalan Indonesia, juga mengorbitkan Suryo Agung Wibowo. Hingga kini, Suryo masih tercatat sebagai manusia tercepat Asia Tenggara. 

Tahun lalu, Defia juga membuktikan perempuan Indonesia tak bisa diremehkan. Tampil atraktif di taekwondo kategori poomsae (seni) menjadi peraih medali emas pertama untuk kontingen Indonesia di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang. 

Seperti laporan dari mantan Persibara Banjarnegara, Lasmi Indrayani, dia bahkan harus memberikan dana talangan agar pelatnas Timnas U-16 berjalan. 
Tak hanya Defia, rekening emas Indonesia di Asian Games 2018 itu dilanjutkan oleh dua atlet putri lainnya, yakni dari wushu yang dipersembahkan oleh Lindswell kemudian Tiara Andini Prastika dari sepeda gunung downhill.

Jauh sebelum itu, Susy telah mencatatkan sejarah sebagai peraih medali emas pertama untuk Indonesia di Olimpiade. Dia berhasil meraih medali emas di Olimpiade 1992 Barcelona. 

Begitu pula medali perdana di Olimpiade. Adalah trio srikandi (Lilies Handayani, Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani) yang mempersembahkannya dari panahan di Olimpiade 1988 Seoul. 

Tapi, sayangnya, ketimpangan untuk atlet putri belum semuanya pupus. Sebagai contoh, prize money alias uang hadiah untuk para petenis putri jauh lebih sedikit ketimbang petenis putra. 

"Perbandingannya 30 persen putri, yang putra 70 persen. Perbedaannya masih jauh banget," kata Aldila Sutjiadi, peraih medali emas tenis ganda campuran Asian Games 2018. 

"Saya berharap hadiah untuk petenis putra dan putri bisa disetarakan secepatnya, karena kan kami latihan juga sama capeknya dengan petenis putra. Lagipula, prize money putra dan putri di internasional juga sudah setara," Dila menambahkan. 

Pengelolaan liga juga masih jomplang di beberapa cabang olahraga. Basket, misalnya. Liga bahkan sempat vakum hingga lahir kembali sebagai Srikandi Cup. 

Tahun ini, Srikandi Cup kembali berjalan dengan tujuh kontestan (GMC Cirebon, Scorpio Jakarta, Tanago Jakarta, Sahabat Semarang, Merpati Bali, Flying Wheel Makassar, dan Tenaga Baru Pontianak). Jumlah itu lebih sedikit ketimbang IBL, yang diramaikan sepuluh klub. Srikandi Cup juga tak mengenal hadiah uang. 

Kapten Tenaga Baru Pontianak, Fanny Kalumatan, bersyukur liga berjalan dan diputar dalam seri di kota-kota berbeda. Dari berbagai sumber, Srikandi Cup sulit mendapatkan sponsor. Dana pelaksanaan liga didapatkan dari patungan pemilik klub. 

"Potensi pemain putri ini bisa dikembangkan secara profesional. Kami ingin mendapatkan support yang setara dengan IBL. Saya melihat justru kurang solid di antara basketnya sendiri, karena salah satunya jadwal seri IBL kerap bentrok dengan Srikandi Cup dan dijadwalkan di kota berbeda," ujar Fanny. 

Malah, liga sepakbola putri yang direncanakan sejak kepengurusan PSSI periode 2016-2020 dilantik masih sekadar rencana. Bisa jadi keuangan menjadi masalah utama seperti PSSi dalam mengelola Timnas Indonesia putri.


Berkat Lasmi pula, seorang perempuan di sepakbola, kebusukan sejumlah petinggi PSSI terungkap. Kini, 16 orang dijadikan tersangka kasus dugaan pengaturan skor. Hampir seluruhnya bermula dari laporan Lasmi kepada Satgas Anti Mafia Bola.






Tulis Komentar