Renungan dari Sebuah Lamunan
Ketika Hidup Hanya Persinggahan: Renungan tentang Kematian dan Bekal Abadi

KilasRiau.com - Lamunan tersentak, seakan membangunkan hati yang lalai. Sebuah kesadaran muncul, bahwa hidup di dunia ini takkan abadi. Segala hal yang kita kejar, harta, jabatan, bahkan pujian manusia, hanyalah bayang-bayang yang kelak sirna. Pada akhirnya, semua akan berhenti di satu titik: pusara yang diam membisu.
Kuburan menjadi saksi bisu perjalanan manusia. Tidak ada suara, tidak ada gelak tawa, tidak ada kemegahan yang menyertai. Yang tersisa hanyalah amal, doa anak-anak yang sholeh, dan sedekah jariyah yang terus mengalir. Di situlah kita benar-benar diuji: apakah bekal yang kita bawa cukup, atau justru meninggalkan kita dalam kesendirian abadi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terpaku dalam diam, seakan tak mampu bicara ketika kematian disebut. Banyak yang menganggapnya sesuatu yang jauh, padahal hakikatnya kematian lebih dekat daripada urat leher. Segala yang kita lihat sebagai kemewahan seringkali hanyalah fatamorgana. Ia tampak nyata, indah, dan memikat, namun akhirnya lenyap tanpa bekas.
Allah Swt. telah menegaskan dalam firman-Nya:
"Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya."
(QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini menjadi pengingat bahwa kematian bukanlah akhir, melainkan gerbang menuju kehidupan yang sesungguhnya. Dunia hanyalah tempat singgah, tempat kita menyiapkan bekal.
Beberapa waktu lalu, seorang sahabat menceritakan pengalaman yang membuatnya tersadar. Ada seorang pemuda yang sehat, ceria, dan rajin bekerja. Tidak ada tanda-tanda sakit parah, namun takdir berkata lain. Ia berpulang secara mendadak ketika sedang beristirahat di rumah.
Kabar itu mengejutkan banyak orang. Betapa tidak, pagi harinya ia masih bertegur sapa dengan tetangga, bahkan sempat bercanda dengan teman-temannya. Tak ada yang menyangka bahwa itu adalah pertemuan terakhir.
Ketika jenazahnya dishalatkan, banyak yang menangis bukan hanya karena kehilangan, tetapi juga karena kebaikan yang ia tinggalkan. Ia dikenal dermawan, suka membantu tetangga, dan tak pernah menyakiti orang lain dengan lisannya. Kisah itu menyentuh hati kita semua: kematian bisa datang kapan saja, dan yang tersisa hanyalah amal.
Maka sebelum waktu itu tiba, selayaknya kita tidak menunda kebaikan. Setiap hari adalah kesempatan, setiap napas adalah anugerah. Jangan menunggu esok untuk memperbaiki diri, sebab tidak ada yang menjamin kita masih bisa membuka mata di pagi hari.
Mari kita isi hidup dengan amal yang ikhlas, dengan sedekah yang menolong, dengan ilmu yang bermanfaat, dan dengan doa yang tulus. Sebab semua yang bernyawa, tanpa terkecuali, pasti akan kembali kepada-Nya.
Akhirnya, lamunan ini bukan sekadar pengingat akan kefanaan, melainkan juga cahaya yang menuntun hati. Hidup memang singkat, namun bisa bernilai panjang jika kita mengisinya dengan bekal untuk keabadian.
اللهم اجعل خير أعمالنا خواتيمها وخير أيامنا يوم نلقاك، وثبتنا عند السؤال، وارزقنا حسن الخاتمة برحمتك يا أرحم الراحمين.
"Ya Allah, jadikanlah amalan kami yang terbaik sebagai penutup hidup kami, dan hari-hari terbaik kami adalah hari ketika kami berjumpa dengan-Mu. Teguhkanlah kami saat menghadapi pertanyaan di alam kubur, dan karuniakan kepada kami husnul khatimah dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Penyayang."
Source: Aldian Syahmubara
Tulis Komentar