Tari Masal Serentak Melayu: Simfoni Kebersamaan di Bumi Lancang Kuning

KilasRiau.com - Malam itu, langit Pekanbaru dipenuhi denting gambus dan tabuhan gendang yang memanggil ribuan penari ke panggung terbuka. Halaman parkir Kantor Gubernur Riau hingga jalan-jalan di sekelilingnya disulap menjadi arena pertunjukan raksasa, menampung puluhan ribu pasang mata yang antusias menyaksikan.
Dengan baju kurung berwarna cerah, songket berkilau, dan tanjak yang tegak di kepala, para penari bergerak dalam harmoni yang sama. Tari Masal Serentak Melayu bukan sekadar pertunjukan, tetapi gema persatuan—satu langkah, satu irama, satu jiwa.
“Saya merasa bangga sekaligus terharu. Kantor gubernur ini bukan hanya pusat pemerintahan, tapi juga rumah rakyat. Hari ini halaman ini menjadi panggung besar budaya Melayu, tempat kita merayakan jati diri bersama. Inilah bukti bahwa seni dan budaya mampu menyatukan kita semua,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, S.Stp., M.Si yang hadir langsung menyaksikan ribuan penari bergerak seirama di hadapannya kala itu.
Di hadapan ribuan pasang mata, tubuh-tubuh itu seolah melebur menjadi satu. Gerak zapin yang lincah, ayunan tangan yang gemulai, hingga hentakan kaki yang tegas berpadu menjadi simfoni visual yang memikat. Sorak penonton sesekali pecah, terutama saat formasi penari berubah dinamis, menciptakan pola indah bak gelombang laut yang bergerak serentak.
Suasana karnaval terasa begitu semarak. Penonton dari berbagai kalangan—wisatawan, pelajar, hingga orang tua yang membawa anak kecil—terlihat larut dalam pertunjukan. Ada yang sibuk merekam dengan ponsel, ada pula yang hanya duduk menikmati dengan wajah penuh kagum. Di antara gemuruh musik dan tepuk tangan, terselip rasa bangga yang sulit diucapkan: inilah wajah Melayu yang bersinar di panggung besar.
“Kompak itu bukan hanya soal tari, tapi juga cerminan hidup bermasyarakat. Kita diajarkan untuk berjalan seirama, saling menopang, dan tidak meninggalkan yang lain. Itulah filosofi tarian Melayu,” tutur Epi Martison, koreografer asal Kuantan Singingi yang karyanya telah mengudara hingga Paris, New York, Sydney, dan berbagai kota dunia.
Menurut Epi, gagasan Tari Kolosal Serentak Melayu ini lahir dari ide kreatif Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat. Dalam perwujudannya, pertunjukan ini tidak lepas dari sentuhan tangan para seniman, mulai dari koreografer, penata gerak, hingga penata musik.
Kadis Pariwisata Roni Rakhmat bersama Bupati Kuantan Singingi, Dr. Suhardiman Amby, yang dikenal peduli dan bersemangat terhadap pelestarian adat, adab, seni, dan budaya, diharapkan terus bersinergi dengan Gubernur Riau, H. Abdul Wahid, sehingga event Lancang Kuning Karnival dapat hadir di berbagai kabupaten, termasuk Kuansing. Dukungan langsung dari gubernur menjadi penting agar program ini semakin kuat dan berdampak luas.
Lancang Kuning Karnival 2024 memang dirancang lebih dari sekadar pesta budaya. Ia adalah panggung besar yang mempertemukan modernitas dan tradisi. Selain parade UMKM, fashion show, hingga atraksi seni kontemporer, Tari Masal Serentak Melayu menjadi magnet utama. Tahun 2024 lalu, pertunjukan spektakuler itu berhasil melibatkan 10.000 penari yang terdiri dari pelajar SLTP, SLTA, mahasiswa, ASN, hingga sanggar-sanggar seni se-Pekanbaru.
Kekuatan acara itu juga terletak pada kerja sama tim kreatif yang solid: koreografer Epi Martison bersama almarhum Sunardi, penata gerak Aldy dan Dr. Nurlita, S.Pd., M.Pd., komposer Anggara Satria, serta penata artistik Tito Ardila. Meski hanya digelar sekali dalam setahun, tari kolosal ini memberikan dampak yang sangat positif, kreatif, dan inovatif.
Bagi para penari, pengalaman ini jauh melampaui sekadar tampil di panggung. “Awalnya saya takut salah gerak, tapi setelah latihan berbulan-bulan, saya justru jadi lebih percaya diri. Saya merasa bangga bisa ikut menjaga budaya Melayu,” ujar Putri, salah satu siswi SMA di Pekanbaru yang ikut tari kolosal Serentak Melayu kala itu.
Kebanggaan yang sama juga dirasakan Ridho, mahasiswa yang ikut menari Serentak Melayu di 2024 silam. “Kami tidak hanya belajar gerak tari, tapi juga belajar tentang arti kebersamaan, saling menghormati, dan mencintai budaya sendiri. Rasanya luar biasa bisa jadi bagian dari sejarah ini,” katanya dengan mata berbinar.
Para orang tua pun ikut larut. Siti Mariam, seorang ibu yang datang dari Kampar, tak kuasa menahan haru. “Anak saya ikut menari. Waktu melihat dia di panggung, saya menangis. Bukan hanya karena bangga, tapi juga karena merasa budaya kita masih hidup dan terus diteruskan,” tuturnya pelan.
Lebih dari sekadar latihan gerak, para peserta memang mendapatkan wejangan dan wawasan tentang filosofi adat, adab, seni, dan budaya Melayu. Mereka diajarkan manajemen seni pertunjukan, arti panggung, makna gerak, hingga karakter khas tari tradisi. Bahkan nilai-nilai kebersamaan, saling berbagi, dan menghargai satu sama lain ditanamkan sejak awal. Dengan begitu, tari massal ini bukan sekadar ajang pertunjukan, tetapi juga sarana pembentukan karakter generasi penerus.
Di penghujung pertunjukan, para penari berdiri tegak, tersenyum, dan menunduk memberi salam. Penonton berdiri, sebagian bertepuk tangan, sebagian lagi terdiam dengan mata berkaca-kaca. Semua yang hadir seakan menyadari: tarian bukan hanya soal gerak tubuh, melainkan bahasa hati yang menyatukan.
Tarian Serentak Melayu di Lancang Kuning Karnival 2024 silam menjadi pengingat bahwa budaya tidak boleh hanya dikenang, tetapi harus terus dihidupkan. Di tengah arus globalisasi, ketika generasi muda lebih akrab dengan musik digital dan tarian modern, seni tradisi ini hadir sebagai jembatan identitas. Ia menegaskan bahwa modernitas tidak harus menghapus tradisi, melainkan bisa berjalan berdampingan.
Jika pada saat itu 10.000 penari bisa bergerak serentak dalam satu panggung, itu adalah bukti bahwa kebersamaan masih mungkin dirajut. Dan selama masyarakat Riau terus merawatnya, Tari Masal Serentak Melayu akan tetap menjadi denting persatuan—bukan hanya di panggung karnaval, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
“Saya berharap kegiatan ini tidak berhenti. Lancang Kuning Karnival harus menjadi agenda tahunan yang semakin besar, merata di seluruh kabupaten, dan melibatkan lebih banyak generasi muda. Dengan begitu, budaya Melayu bukan hanya dikenang, tapi sungguh-sungguh hidup di tengah masyarakat,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Roni Rakhmat, S.Stp., M.Si saat dihubungi Kilasriau.com.*(ald)
Tulis Komentar