Malam Mencekam di Sungai Teso: Warga Giri Sako Diterkam Buaya di Sidodadi

Foto: Suwadi, Istimewa (doc. Kilasriau.com)

SIDODADI (KilasRiau.com) - Malam itu, Sungai Teso di Kecamatan Logas Tanah Darat (LTD) tampak tenang. Aliran airnya berkilau diterpa cahaya senter warga yang menyusuri tepian. Suara gesekan dedaunan dan riak kecil air menemani langkah lima orang warga Desa Sidodadi yang hendak mencari ikan, Selasa (26/08/2025) sekitar pukul 21.30 WIB.

Namun ketenangan itu hanya sesaat. Sunyi malam mendadak terpecah oleh jeritan panik. Aris, salah seorang dari rombongan, tiba-tiba disergap buaya ketika tanpa sengaja menginjak tubuh reptil besar itu.

“Semua kaget. Hanya dalam sekejap buaya itu menerkam tangan Aris,” kenang seorang warga yang ikut dalam rombongan.

Ganasnya serangan membuat lengan kanan Aris terluka parah, sementara cakaran buaya juga meninggalkan luka di bagian dada. Sontak teman-temannya berteriak dan berusaha mengusir buaya dengan memukul permukaan air. Dalam kepanikan, mereka berhasil menarik Aris ke tepian.

Darah mengalir deras, mengucur di air sungai yang semakin keruh. Dengan langkah tergesa, korban segera dievakuasi ke darat lalu dilarikan ke Puskesmas Sukaraja. Malam itu, suasana berubah menjadi kepanikan bercampur doa agar nyawa Aris dapat tertolong.

Peristiwa naas ini menambah catatan panjang konflik antara manusia dan buaya di Sungai Teso. Suwadi, tetangga korban, mengingat jelas peristiwa serupa setahun lalu.
“Ini sudah yang kedua kalinya. Sekitar satu tahun lalu juga ada warga diterkam buaya di sini,” tuturnya lirih.

Bagi warga sekitar, Sungai Teso bukan hanya jalur air, melainkan sumber kehidupan. Sungai menjadi tempat mencari ikan, sumber air bersih, bahkan sarana transportasi tradisional. Namun, bagi buaya, sungai ini adalah habitat asli yang semakin terhimpit oleh aktivitas manusia.

Seiring waktu, Sungai Teso semakin dangkal. Ruang gerak buaya terbatas, sementara intensitas warga beraktivitas di sungai terus meningkat. Kondisi ini membuat pertemuan manusia dan buaya nyaris tak terhindarkan.

“Harus ada perhatian serius. Sungai ini memang jadi tempat warga menggantungkan hidup, tapi jangan lupa ini juga rumah bagi buaya. Kalau dibiarkan, bisa saja jatuh korban lagi,” ucap seorang warga lainnya.

Selain kewaspadaan, warga juga diingatkan agar tidak mengganggu keberadaan buaya jika mendapati hewan tersebut menampakkan diri. Selama ini, tak jarang masyarakat yang melihat buaya timbul di permukaan justru melempari, bahkan memukulnya. Tindakan seperti itu hanya membuat buaya semakin agresif.

Di rumah sederhana milik Aris, lampu-lampu masih menyala ketika kabar serangan buaya sampai. Keluarga korban, terutama istri dan anak-anaknya, tampak gelisah menanti kabar. Suara tangis sesekali terdengar, bercampur doa yang dipanjatkan agar Aris selamat.

Bagi mereka, Aris bukan hanya seorang kepala keluarga, melainkan juga tulang punggung yang ketika malam berani menyusuri sungai demi membawa pulang ikan untuk dapur. Malam itu, Sungai Teso seakan memberi pesan keras: ada batas tipis antara mencari nafkah dan mempertaruhkan nyawa.

Konflik manusia dengan buaya di Sungai Teso memberi pelajaran bahwa sungai bukan sekadar jalur air yang bebas dieksploitasi, melainkan ekosistem yang harus dihormati. Malam itu, ketika jeritan Aris membelah kesunyian, Sungai Teso seolah mengingatkan: di balik ketenangan air, selalu ada sisi liar yang menuntut ruang hidupnya.*(ald)






Tulis Komentar