Rimba Meratap: Suara Kebangkitan Seni dari Kuantan Singingi

Foto: Epi Martison (doc. Kilasriau.com)

TELUK KUANTAN (KilasRiau.com) - Malam itu, seperti cahaya lampu panggung menembus gelapnya ruangan. Musik perlahan mengalun, diiringi gerak tubuh penari yang luwes, teatrikal, dan penuh makna dalam pandangan seorang Koreografer dan komposer Internasional, Epi Martison. Dalam bayangannya, lahirlah sebuah karya seni yang bukan sekadar tontonan, melainkan juga sebuah pesan: seni harus terus hidup, meski pernah terpuruk.

Dalam angannya Pertunjukan bertajuk “Rimba Meratap” akan menjadi bukti nyata bahwa denyut seni di Kuantan Singingi masih kuat, bahkan kian menggeliat.

Setelah pandemi Covid-19 membuat aktivitas seni lumpuh total, namun Epi dengan rilisan karya nya ini akan hadir sebagai simbol kebangkitan.

“Pertunjukan ini adalah simbol kebangkitan. Melalui Rimba Meratap, kami ingin menyalakan kembali semangat kreativitas seniman sekaligus memberikan manfaat ekonomi,” ucap Epi Martison dengan nada penuh keyakinan.
 

Seni yang Pernah Vakum

Pandemi yang melanda beberapa tahun silam menjadi pukulan telak bagi dunia seni. Sanggar terpaksa menutup kegiatan, seniman kehilangan panggung, bahkan banyak di antaranya kehilangan sumber pendapatan. Dalam sunyi itulah, Epi menyadari seni tidak boleh mati. Ia harus kembali hidup, karena seni adalah bagian dari denyut kehidupan masyarakat.

Rimba Meratap hadir menjawab kegelisahan itu. Lebih dari sekadar pertunjukan, karya ini adalah ruang penyadaran, sekaligus refleksi bagi siapa saja yang menyaksikannya.
 

Filosofi Sebatang Pohon

Ide besar Rimba Meratap berangkat dari sebuah filosofi sederhana: sebatang pohon.

Pohon yang berdiri tegak di hutan bukan hanya menghasilkan oksigen. Ia menjadi rumah ulat, yang kemudian disantap burung. Burung itu pada gilirannya menjadi mangsa kucing hutan. Daun-daunnya yang gugur memberi makan jamur dan menyuburkan tanah. Sementara akar-akar pohon menahan longsor dan menyimpan cadangan air.

Namun, ketika pohon ditebang, rantai kehidupan pun terputus. Burung kehilangan makanan, tanah menjadi gersang, bencana longsor mengintai, dan pada akhirnya manusia juga yang menanggung akibatnya.

“Alam ini adalah titipan Tuhan. Jika terus digunduli, bukan hanya ulat, burung, dan kucing yang meratap, tetapi manusia pun akan ikut meratap,” pesan Epi lewat karyanya.

 

Kolaborasi Enam Seni

Dalam Rimba Meratap, Epi menggabungkan enam cabang seni sekaligus: tari, musik, teater, sastra, sinematografi, dan seni rupa. Perpaduan ini menghasilkan sebuah karya kolaboratif yang sarat makna.

Dengan dukungan teknologi modern serta desain artistik yang unik, pertunjukan ini tidak hanya memanjakan mata dan telinga, tetapi juga menggugah rasa. Penonton diajak larut dalam refleksi, sekaligus menikmati sebuah pertunjukan spektakuler.
 

Bangkitkan Ekonomi Kreatif

Manfaat Rimba Meratap tidak berhenti di panggung. Kegiatan ini membuka kembali ruang kreativitas sekaligus peluang ekonomi bagi para pelaku seni. Sanggar-sanggar yang sempat terhimpit pandemi kini kembali menemukan ruang hidup.

Lebih jauh, karya ini menjadi momentum penting untuk mengangkat kembali marwah seni budaya Kuantan Singingi. Dari sebuah panggung lokal, seni bisa kembali menggemakan pesan universal tentang kehidupan dan keseimbangan alam.
 

Epi Martison: Dari Baserah ke Panggung Dunia

Di balik karya monumental ini, berdiri sosok seniman besar: Epi Martison. Pria kelahiran Baserah, Kuantan Singingi, 31 Maret 1963 ini bukanlah nama asing. Ia telah menorehkan prestasi di panggung nasional hingga internasional.

Lulusan ASKI/ISI Padang Panjang dan Institut Kesenian Jakarta ini pernah meraih medali emas di World Choir Olympic di Austria, tampil di Denmark, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, hingga Afrika Selatan. Bersama Gumarang Sakti Dance Company, ia bahkan menyabet Bassie Award di 11 negara bagian Amerika Serikat.

Di tanah air, ia kerap dipercaya menata tari dan musik pada pembukaan MTQ Nasional, Festival Pacu Jalur Kuansing, hingga Festival Erau Tenggarong di Kalimantan Timur. Kini, selain aktif mencipta karya, Epi juga mengajar di Pusat Pelatihan Seni dan Budaya (PPSB) DKI Jakarta.

Epi adalah bukti nyata bahwa seniman dari daerah mampu menembus panggung dunia, sekaligus mengharumkan nama Indonesia.
 

Wacana di Danau Raja Inhu

Tidak berhenti di Kuansing, Epi merencanakan Rimba Meratap tampil pula di Hutan Indragiri Hulu. Wacana itu sudah ia diskusikan bersama Wakil Bupati Inhu, Ir. H. Hendrizal, M.Si.

“Pak Wabup bersemangat waktu itu. Ini juga bagian dari slogan Dayung Serempak Untung Serentak,” ungkap Epi.

Wakil Bupati Inhu membenarkan wacana tersebut. Meski anggaran terbatas, semangat beliau dan Bupati Ade Agus Hartanto, S.Sos untuk menampilkan seni budaya di Inhu menjadi motivasi tersendiri. Apalagi Kuansing pada dasarnya adalah pecahan dari Inhu, sehingga ada ikatan emosional yang kuat antara dua daerah serumpun ini.

Dengan senyum, Wabup Hendrizal menyebut: “Apa hendak di kate. Niat hati ingin memeluk gunung, apa daya kite tangan pendek.” Sebuah ungkapan rendah hati yang justru mempertegas tekad pemerintah daerah untuk terus memberi ruang bagi seni budaya, kapan pun kesempatan itu datang.

Rimba Meratap bukan hanya panggung seni. Ia adalah suara rimba, jeritan pohon, sekaligus doa seniman agar manusia kembali sadar: menjaga alam berarti menjaga hidup. Dari Kuansing hingga Inhu, seni tetap menemukan jalannya untuk hidup dan menghidupkan.*(ald)






Tulis Komentar