Dari Wacana ke Panggung: Semangat Wakil Bupati Inhu Menghidupkan Budaya

RENGAT (KilasRiau.com) - Senja merambat pelan di Danau Raja. Riak air memantulkan cahaya keemasan, seolah melukis kembali cerita-cerita lama yang pernah terukir di tepian danau ini. Bagi masyarakat Indragiri Hulu (Inhu), Danau Raja bukan sekadar wisata; ia adalah panggung sejarah, tempat para raja dahulu menggelar jamuan, dan saksi bisu kebesaran budaya Melayu.
Di tempat inilah, sebuah gagasan besar mulai diperbincangkan. Wakil Bupati Inhu, Ir. H. Hendrizal, M.Si, bersama Epi Martison, koreografer dan komposer internasional asal Kuantan Singingi, duduk dalam sebuah obrolan santai namun sarat makna. Topiknya: menghadirkan tari kolosal “Dayung Serempak Untung Serentak” tepat di jantung Danau Raja.
“Bayangkan, 3000 penari bergerak serempak di tepi danau. Irama dayungnya menggema, seperti menyatukan nafas masyarakat Inhu,” ujar Hendrizal dengan mata berbinar, seakan sudah menyaksikan pertunjukan itu di hadapannya.
Epi tersenyum. Ia menangkap api semangat yang jarang ditemui dari seorang pejabat. “Pak Hendrizal tampak betul-betul ingin menghadirkan sesuatu yang baru. Meski anggaran terbatas, semangatnya tidak surut. Itu yang membuat saya ikut bersemangat,” katanya.
Danau Raja, Panggung Sejarah
Danau Raja menyimpan kisah kejayaan Kesultanan Indragiri. Airnya pernah menjadi saksi pesta rakyat dan perjamuan megah raja-raja Melayu. Kini, ketika gagasan tari kolosal itu mencuat, seakan ada yang hendak menghidupkan kembali denyut lama dengan cara baru.
Bukankah sejak dulu Danau Raja adalah panggung kebesaran? Bedanya, kali ini panggung itu akan dipenuhi ribuan penari, diiringi musik yang memadukan tradisi dan modernitas.
Filosofi Dayung Serempak
Nama “Dayung Serempak Untung Serentak” lahir dari falsafah sederhana: hanya dengan kebersamaanlah perahu bisa sampai ke tujuan. Satu orang boleh kuat, tapi tanpa harmoni, perahu akan oleng.
“Dayung serempak itu bukan sekadar gerak tari, tapi juga pesan hidup,” ujar Ronal (42), seorang pegiat seni di Kuantan Singingi (Kuansing), sambil menepuk rebana tuanya. “Kalau Inhu dan Kuansing bisa bersatu lewat seni, bukankah itu lebih indah daripada seribu pidato?”
Suara dari Tepian Danau
Di tepi danau, Rahmad (42), penjual kelapa muda, punya pandangan lain. “Kalau benar jadi dipentaskan, pasti ramai orang datang. Danau Raja akan hidup lagi, ekonomi masyarakat pun terbantu,” katanya dengan nada penuh harap.
Sementara itu, Lilis (21), mahasiswi seni tari, justru melihatnya sebagai panggung mimpi. “Rasanya bangga kalau bisa menari di acara sebesar itu. Seni bukan hanya hiburan, tapi juga cara kami menunjukkan jati diri.”
Ikatan Dua Daerah
Tak bisa dipungkiri, gagasan ini juga membawa nostalgia tersendiri. Kuantan Singingi pernah menjadi bagian dari Inhu sebelum berdiri sebagai kabupaten sendiri. Ikatan emosional itu kini mendapat ruang baru: sebuah tarian yang menghubungkan dua daerah serumpun lewat simbol kebersamaan.
Jika suatu hari nanti tarian kolosal ini benar-benar dipentaskan, maka Danau Raja bukan hanya akan kembali bersinar sebagai destinasi wisata. Ia akan hidup sebagai ruang kebersamaan—tempat sejarah, seni, dan harapan masyarakat berpadu dalam satu irama: dayung serempak, untung serentak.*(ald)
Tulis Komentar