Rimba Meratap: Suara Hutan, Jiwa Kebersamaan

TELUK KUANTAN (KilasRiau.com) - Asap tipis mengepul, nyala api melahap batang demi batang pohon, dan suara alam seolah tercekik di tengah kepungan api. Dari peristiwa inilah lahir sebuah gagasan seni yang menggugah: Rimba Meratap.

Bukan sekadar pertunjukan, Rimba Meratap adalah jeritan simbolik hutan yang terbakar. Melalui musik, sastra, dan tari, karya ini menghadirkan kepedihan alam ke atas panggung, agar manusia tak lagi menutup mata terhadap kerusakan yang terjadi di depan mereka sendiri.
Dgn tata lighting yang canggih tetapi tetap beradaptasi dan menyesuaikan dengan rimbunnya pepohonan.
Dari Wacana ke Panggung
Saat ini, Rimba Meratap masih dalam tahap awal penciptaan. “Rimba Meratap ini baru wacana dan baru stretching penari. Akan latihan di FKIP UNRI,” ungkap Epi Martison.
Pekanbaru dipilih sebagai pusat latihan sekaligus rencana tempat perilisan karya ini. Kota itu menjadi titik temu para akademisi, pegiat seni, hingga masyarakat luas—sebuah ruang strategis agar pesan Rimba Meratap bisa menjangkau lebih banyak orang ketika akhirnya dipentaskan.
Namun Epi tidak berhenti di situ. Ia juga merencanakan Rimba Meratap akan ditampilkan di kawasan hutan Indragiri Hulu (Inhu), sebuah lokasi yang sarat makna karena berhubungan langsung dengan isu lingkungan yang diangkat.
“Setiap kali saya lihat hutan terbakar, dada saya sesak. Bukan hanya karena asapnya, tapi karena saya tahu ada kehidupan yang hilang. Hewan, pohon, bahkan manusia ikut jadi korban. Dari sanalah lahir Rimba Meratap. Ini bukan hanya karya seni, tapi jeritan hati saya sendiri,” tutur Epi dengan mata berkaca-kaca.
Tari Kolosal di Danau Raja
Selain Rimba Meratap, di Danau Raja Inhu akan digelar pertunjukan tari kolosal bertajuk “Dayung Serempak Untung Serentak.”
“Pak Wabup bersemangat waktu itu. Ini juga bagian dari slogan Dayung Serempak Untung Serentak,” ujar Epi.
Wakil Bupati Inhu, Ir. H. Hendrizal, M.Si, membenarkan wacana tersebut. Meski anggaran terbatas, semangat beliau untuk menampilkan seni budaya di Inhu menjadi motivasi tersendiri. Apalagi Kuansing pada dasarnya adalah pecahan dari Inhu, sehingga ada ikatan emosional yang kuat antara dua daerah serumpun ini.
Dengan senyum, Wabup Hendrizal menyebut: “Apa hendak di kate. Niat hati ingin memeluk gunung, apa daya kite tangan pendek.” Sebuah ungkapan rendah hati yang justru mempertegas tekad pemerintah daerah untuk terus memberi ruang bagi seni budaya, kapan pun kesempatan itu datang.
Epi menambahkan, slogan Dayung Serempak Untung Serentak semestinya tidak berhenti sebagai jargon pembangunan. Nilai gotong royong, kerja bersama, dan semangat kebersamaan yang terkandung di dalamnya juga bisa diwujudkan melalui karya seni dan budaya.
Sosok di Balik Karya
Di balik gagasan ini berdiri sosok Epi Martison, seorang koreografer sekaligus komposer yang telah lama malang melintang di dunia seni pertunjukan. Ia menempuh pendidikan di Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang.
Kombinasi dua latar pendidikan itu membentuk kepiawaiannya dalam meramu koreografi sekaligus musik. Setiap karyanya tidak hanya menyajikan keindahan gerak, tetapi juga menyimpan pesan filosofis, sosial, dan ekologis yang dalam.
Lebih dari satu dekade, Epi konsisten melahirkan karya-karya yang melibatkan banyak disiplin: tari, musik, hingga eksplorasi ruang. Ia percaya bahwa seni bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga sebagai medium untuk menyuarakan keresahan dan menyentuh nurani.
“Saya percaya seni bisa menembus hati yang tak bisa dijangkau kata-kata. Kalau politisi bicara dengan program, seniman bicara dengan karya. Keduanya sama penting untuk membangun kesadaran masyarakat,” kata Epi.
Harapan di Balik Rimba Meratap
Dengan Rimba Meratap, Epi ingin mengingatkan bahwa kebakaran hutan bukan hanya musibah ekologis, tetapi juga tragedi kemanusiaan. Asap yang membumbung tak sekadar meracuni udara, melainkan juga merampas kehidupan.
Lewat bahasa seni yang universal, ia berharap setiap penonton mampu merasakan duka rimba, lalu mengubahnya menjadi kesadaran untuk menjaga bumi bersama-sama.
“Kalau rimba saja bisa meratap, kenapa manusia hanya diam?” ujar Epi pelan, menutup perbincangan.*(ald)
Tulis Komentar