Saat Ini Perang Dingin dan Mutasi di Tubuh Polri

Jenderal Tito Karnavian. (REUTERS/Beawiharta).

KILASRIAU.com - Usia jabatan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri di tangan Komisaris Jenderal Arief Sulistyanto ternyata tak panjang.

Belum sampai satu semester, lulusan Akademi Kepolisian 1987 itu sudah dimutasi ke jabatan Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Kalemdiklat) Polri.

Inspektur Jenderal Idham Azis yang sebelumnya menjabat Kapolda Metro Jaya dipercaya menggantikan Arief. Sementara kursi Kapolda Metro Jaya yang ditinggalkan Idham diserahkan kepada Irjen Gatot Eddy Pramono, yang saat ini menjabat sebagai Asisten Kapolri bidang Perencanaan Anggaran (Asrena).

Mutasi ini tertuang dalam surat telegram bernomor ST/188/I/KEP.2019 tertanggal 22 Januari 2019 dan telah dikonfirmasi oleh Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri Irjen Mohammad Iqbal. Surat telegram tersebut pun telah ditandatangani oleh Asisten Kapolri bidang Sumber Daya Manusia (As SDM) Irjen Eko Indra Heri.

Bicara Kabareskrim, belum banyak prestasi yang ditorehkan oleh Arief dalam usia jabatannya yang seumur jagung. Beberapa kasus mangkrak yang diestafetkan oleh Komjen Ari Dono Sukmanto saat dimutasi dari Kabareskrim ke jabatan Wakapolri pun belum terselesaikan hingga akhir masa kepemimpinan Arief di Bareskrim.

Beberapa kasus itu antara lain dugaan makar sejumlah tokoh dalam Aksi 212 yang berlangsung 2 Desember 2016, teror penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang terjadi 11 April 2017, hingga beberapa kasus lain yang sempat mendapatkan sorotan tajam publik.

Mutasi Arief ini pun memunculkan beragam pertanyaan di tengah publik. Selain karena masa jabatan yang singkat, mutasi ini juga terjadi di tengah kabar hubungannya yang tidak harmonis dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.

Pengamat kepolisian dari Indonesian Police Watch (IPW) Neta S Pane mengamini kabar hubungan yang tidak harmonis itu. Dia menilai, mutasi Arief dari Kabareskrim ke Kalemdiklat merupakan solusi tepat yang diambil Tito untuk mengakhiri 'perang dingin' dengan Arief.

Menurut dia, perang dingin antara Tito dan Arief yang terjadi sejak sekitar dua bulan terakhir telah mengganggu soliditas internal Polri. Apalagi seorang Kabareskrim secara tugas, fungsi, dan peran bertanggung jawab langsung kepada Kapolri.

"Ini langkah tepat untuk akhiri perang dingin di elite Polri dalam rangka membangun soliditas, karena ini mau pemilu, di mana Polri harus solid," kata Neta saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (22/1/2019).

Neta menambahkan, 'perang dingin' antara Tito dengan Arief dipicu oleh isu pengkhianatan. Menurut dia, aksi pembangkangan terhadap pemimpin Polri menjadi hal yang menyelimuti isu tersebut.

Neta melanjutkan, lahirnya isu tersebut sebenarnya hanya mengganggu soliditas dan menimbulkan ketidaknyamanan anggota Polri lain dalam bekerja. Di sisi lain isu tersebut tidak mengganggu kinerja Polri secara institusi.

"Informasi yang saya dapat di internal Polri, konflik itu terjadi karena isu pengkhianatan. Itu sudah berlanjut beberapa bulan terakhir dan sangat mengganggu. Terjadi aksi mbalelo terhadap pimpinan," ujarnya.

Tangga Idham Gantikan Tito

Sementara itu, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Khairul Fahmi menilai mutasi ini memasukkan nama Idham ke dalam kotak persaingan calon Kapolri pengganti Tito yang sempat menyatakan ingin pensiun dini.

Bukan rahasia lagi, sudah sejak lama posisi Kabareskrim sangat strategis. Beberapa dari mereka yang jadi Kapolri merupakan sosok-sosok yang 'lulus' sebagai Kabareskrim. Sebut saja Jenderal Bambang Hendarso Danuri pada 2010 dan Jenderal Sutarman pada 2013.

Selain persoalan jabatan strategis, kedekatannya dengan Tito juga membuat Idham turut diperhitungkan menjadi sosok yang bakal melanjutkan estafet tongkat komando pemimpin Korps Bhayangkara.

"Tangganya ya (jadi pengganti Tito). Idham cukup dekat dengan Tito. Saya kira tidak lepas dari konstelasi itu juga," ujar dia.

Ia pun mengamini, Tito terlihat tengah menyiapkan sosok penggantinya lewat mutasi ini. Menurut dia, berbagai isu seperti terkait 'Buku Merah' semakin menambah beban Tito untuk terus memimpin Polri.

'Buku Merah' dimaksud itu terkait perkara korupsi impor daging yang melibatkan pengusaha Basuki Hariman. Kasus ini mendapat sorotan tajam publik setelah diungkap IndonesiaLeaks pada Oktober 2018 silam lantaran Tito disebut sebagai salah satu pihak yang menerima suap.

"Terlepas dari pernyataan Tito mau pensiun lebih awal, memang ada banyak catatan, termasuk pengaruh Buku Merah itu misalnya," kata Khairul.

"Itu mempengaruhi persepsi banyak pihak pada kepemimpinan Tito. Mungkin itu juga jadi beban tambahan ketika dia harus terus memimpin Polri," tuturnya.

Terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo membantah mutasi ini merupakan solusi Tito untuk mengakhiri 'perang dingin' dengan Arief.

"Tidak ada itu," kata Dedi.

Menurut dia, mutasi ini merupakan hal yang biasa dalam Polri sebagai bagian dari penyegaran organisasi.

"Sebagai tour of duty personel Polri. Juga sebagai penyegaran sehingga Polri semakin kuat dan optimal dalam melindungi, melayani, mengayomi, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum," ucap Dedi.






Tulis Komentar