Buya HASAN ARIFIN (1916-1969), Konsul Muhammadiyah Pertama Riau Asal Kuantan Singingi

KILASRIAU.Com - MUHAMMADIYAH adalah bagian dari sejarah Indonesia. Kontribusinya sebagai pembawa modernitas dalam Islam tidak bisa dianggap enteng. Di tangan pendirinya, KH. AHMAD DAHLAN, Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang besar.  

Apalagi Muhammadiyah berdiri dengan napas amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid (pembaharuan). Muhammadiyah tidak hanya mengusung paham agama Islam tetapi juga turut memajukan bidang pendidikan. Terutama dalam memberantas keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan di kalangan penduduk pribumi.

Muhamamadiyah berjuang memerangi praktik mistik sekaligus mengentaskan kemiskinan masyarakat pribumi akibat penjajahan Belanda.

Tak ayal organisasi yang didirikan  KH.  Ahmad Dahlan pada 1912 ini  berkembang pesat.  Tak hanya di daerah tempat berdirinya Yogyakarta, Muhammadiyah  berkembang sampai ke pelosok  Indonesia.

Lalu siapakah yang berperan dalam mengembangkan Muhamadiyah di  Lubuk Jambi, Kecamatan Kuantan Mudik,  Kuantan Singingi?

Jawabannya adalah kaum muda terpelajar  yang pernah merasakan “asam garam” pendidikan di  Sumatra Barat.

Siapa saja mereka?

SELAIN Ibad Amin dan kawan-kawan ada sosok HASAN ARIFIN. Intelektual Muhammadiyah kelahiran Banjar Padang, Kecamatan Kuantan  Mudik, Kuantan Singingi tahun 1916 lebih dikenal dengan sapaan HASAN KONSUL atau BUYA KONSUL.

Hasan Arifin termasuk salah seorang perintis lahirnya Muhammadiyah. Bersama kawan seperjuangannya seperti Ibad Amin,  Sulaiman Khatib, Dasin Jamal, Raja Ibrahim, Saad Manan, Arsyad,  dan lainnya mereka mengembangkan   Muhamamadiyah di Kuantan Mudik.

Mereka berhasil  meluluhkan  hati ninik mamak dan kaum adat yang selama ini terkesan mencampur adukkan urusan adat istiadat dengan kehidupan beragama.

Dan dimasa  Hasan Arifin,   Muhammadiyah Lubuk Jambi berkembang pesat dari satu ranting menjadi tiga  ranting. Yaitu Ranting Kinali (1937), Sungai Pinang (1938), Pebaun dan Cengar (1938).

Dengan adanya ranting ini maka  persayaratan bagi Muhammadiyah Lubuk Jambi untuk mendirikan cabang  terpenuhi.  Terbentuklah Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi tahun 1938.

Setelah  Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi terbentuk, perkembangan organisasi  mulai tak terbendung. Ini dapat dilihat dari amal usaha yang telah mereka dimiliki. Di antaranya SMP Muhammadiyah, Gedung dakwah Muhammadiyah, Asrama, mesjid, mushola, PDTA/MDA dan lainnya.

Sementara jumlah ranting yang dimiliki terus bertambah menjadi  12 ranting. Di antaranya Ranting Kinali, Seberang Pantai, Sungai Pinang, Pebaun, Sungai Manau, dan lainnya. Dan beberapa organisasi otonom, yaitu Aisyah, Nasyi’atul Aisyah dan Pemuda Muhammadiyah juga berdiri.

Berdasarkan amal usaha ini maka dapat dilihat pengaruh Muhammadiyah Cabang Lubuk Jambi di berbagai bidang terlihat nyata.  Baik di bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan,  dan keagamaan.

Tercatat dalam sejarah, Muhammadiyah Cabang  Lubuk Jambi merupakan cabang Muhammadiyah pertama di Riau. Ini membuktikan cabang  Muhammadiyah di Lubuk Jambi ini mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengetahuan dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan.
-------------
PADA masa penjajahan Jepang (1942-1945),  perjalanan Muhammadiyah sedikit mengalami hambatan. Namun bukan berarti mereka mati, apalagi menyerah.  Gerakan bawa tanah yang mereka bangun mampu merepotkan penjajah Jepang.

Sekolah Muhammadiyah tak pernah berhenti memberikan pengajaran di tengah tekanan  Jepang.  Muhammadiyah Wajib Belajar (MWB) di Desa Kinali masih aktif walaupun banyak sekolah lain yang terpaksa ditutup.  MWB itu kini menjadi cikal lahirnya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Desa Kinali.

Hasan Arifin yang diangkat sebagai KONSUL MUHAMMADIYAH RIAU di INDRAGIRI pada tahun 1943 tak berdaya.  Konsul adalah jabatan penting dalam Muhammadiyah.

Jabatan Konsul  ini diamanahkan dalam Kongres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau (14-26 Maret 1930).  Kongres memutuskan bahwa di setiap karesidenan harus ada wakil  Hoofdbestuur Muhammadiyah yang dinamakan Konsul Muhammadiyah.  

Hasan Arifin dikukuhkan sebagai Konsul Muhammadiyah Indragiri sejak tahun 1943 setahun setelah Jepang sudah masuk ke Indonesia. Dalam tekanan penjajahan Jepang yang terkenal  tanpa kompromi itu Hasan Arifin kurang dapat melakukan pembinaan organisasi karena sulitnya berkomunikasi.

Kekejaman Jepang terhadap rakyat yang selalu dalam keadaan terancam dalam bahaya membuat semuanya tidak berkembang.   Hasan Arifin sendiri  turut dipenjarakan tahun 1944 karena memilih SIKAP NON KOOPERASI dengan Penjajah Jepang.

Hadan Arifin  ditahan bersama sejumlah tokoh   Muhammadiyah lain di Kuantan Singingi.  

Termasuk dua sahabatnya KH UMAR   USMAN dan JAMAL LAKO SUTAN asal Telukkuantan, Kecamatan Kuantan Tengah.

Kelak kedua sahabatnya itu dianugerahi  sebagai PAHLAWAN PERINTIS KEMERDEKAAN RI pada 1965 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial RI Nomor Pol 621/65.

KH Umar  Usman merupakan  putra  Kuantan Singingi yang menjadi BUPATI MILITER INDRAGIRI (5 Januari 1949 - 2 Februari 1952) dan anggota DPR RI (1971 – 1976) pada era Pemerintahan Presiden Soeharto. Sedangkan Jamal Lako Sutan, teman seperjuangan BUNG HATTA dan BUNG SYAHRIR waktu dibuang ke BOVEN DIGUL.

Ketika Jepang menyerahkan diri kepada tentara sekutu tahun 1945,  Hasan Arifin dan kawan-kawan turut dibebaskan. Dibebaskan Hasan Arifin mengembangkan dakwah Muhamadiyah yang sempat terputus akibat ditahan  Jepang.  

Pada awal kemerdekaan Hasan Arifin  ditunjuk sebagai  Ketua  Partai Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi  Ranting Kecamatan Kuantan Mudik.  Partai yang beridiologi Islam ini pula yang mengantarkannya menjadi anggota parlemen (kini DPRD) Kabupaten Indragiri.  

Partai Masyumi  adalah partai politik Islam yang berdiri pada era Demokrasi Liberal di Indonesia  pada 7 November 1945. Partai ini dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960 karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Dan, ketika terjadi gejolak antara PRRI dengan Pemerintah Pusat, Hasan Arifin memihak PRRI. Akibat sikapnya itu, dia bersama sejumlah tokoh  Muhammadiyah lainnya yang pro PRRI di Kuantan Mudik seperti  IBAD AMIN dan  MUHAMMAD SULAIMAN KHAITIB dicari oleh pasukan Resimen Para Komandi Angkatan Darat (RPKAD) yang melakukan operasi 17 Agustus menumpas PRRI di  Sumatera  Tengah, termasuk di Lubuk Jambi.

Hasan Arifin dan Muhammad Sulaiman  Khatib berhasil “melarikan” diri ke hutan bergabung dengan  pasukan PRRI.   Sementara sahabat mereka Ibad Amin hilang tanpa jejak.   
-------------
HASAN ARIFIN meninggal dalam usia 53 tahun di Telukkuantan pada 1969.  Ia meninggal karena penyakit asma yang menyerang dirinya ketika melaksanakan misi dakwahnya (pengajian) di  Telukkuantan.  

Tepatnya di mesjid  Muhammadiyah yang sekarang menjadi cikal berdirinya Mesjid Makkah Telukkuantan di Jl. Jend.Ahmad Yani, Koto Taluk, Kec. Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau 29566.

“Menurut cerita ibu, tiba-tiba saja saat pengajian dada datuk sakit. Napasnya juga sesak. Datuk memang mempunyai riwayat penyakit asma.  Datuk sempat mengobati dengan menyuntik diri sendiri,” ujar salah  seorang cucu Hasan Arifin,  Alkhalis.  

Beberapa hari setelah dirawat di rumah adiknya di Telukkuantan,  Hasan Arifin meninggal dunia.  Mendengar  Hasan Arifin meninggal dunia,  masing-masing keluarganya  berkeinginan  jenasah orang yang mereka cintai itu di kuburkan di tempat atau kampung halaman mereka.

Keluarga Hasan Arifin  terpencar di tiga lokasi berbeda.  Yakni Telukkuantan, Banjar  Padang, dan Bukit Kauman. Di tiga lokasi tersebut masing-masing keluarga sudah menyiapkan kuburan untuk   orang yang mereka sayangi itu.  

Ketiga daerah tersebut punya sejarah dalam kehidupan  Hasan Arifin. Telukkuantan daerah asal  orang tuanya. Banjar Padang  tempat lahirnya. Sedangkan Bukit Kauman  tempat tinggal bersama anak-anak dan istri pertamanya: Raja Jomiah.

Namun dengan pertimbangan yang matang dan rembuk keluarga disepakati Hasan Arifin dimakamkan di  Bukit Kuaman dengan pertimbangan.

Pertama, Bukit Kauman adalah tempat tinggal  Hasan Arifin bersama ana-anak dan istri pertamanya Raja Jomiah. Kedua, di Bukit Kauman itu Hasan Arifin dan kawan-kawan merintis dan mengembangkan organisasi  Muhammadiyah ke Kuantan Singingi.

Setelah kata sepakat, jenasah Hasan Arifin dibawah jalan kaki secara estafet dari Telukkuantan ke rumah duka  di  Bukit Kauman.  Route perjalanan itu dimulai dari start: Telukkuantan – Gunung – Banjar Padang – dan finish di Bukit Kauman.  

Cucu Hasan Arifin,  Alhalis  mencoba mengambarkan kembali cerita perjalanan jenasah datuknya hingga sampai ke rumah duka di Bukit Kauman.  Cerita itu bersumber dari ibunya Rohanis Hasan.

“Bagaimana kisahnya?” Inilah penturan Alhalis  yang saat ini menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA Negeri  Tuah Kemuning, Kabupaten Indragiri Hilir.  

Inilah kutipan kisahnya:
----------
“Saat datuk meniggal dunia, saya masih dalam kandungan.   Ibu yang tinggal bersama Nenek Raja Jomiah di Bukit Kauman  ketika mendengar kabar itu seakan tak percaya  mendengar kabar datuk meninggal.  

Sebab,  ketika meninggalkan rumah pergi ke Telukkuantan,  datuk  dalam keadaan sehat wal'afiat.   Namun ketika pulang,  datuk sudah tiada.

Siapa yang tak terkejut?  

Ketika diajak menjemput datuk ke Telukkuantan, nenek pun tak berdaya. Nenek hanya mengutus anak bungsunya Zulfarida Hasan ikut mendampingi keluarganya.  

Zulfarida Hasan yang masih duduk di bangku Sekolah Mualimin Muhammadiyah Lubuk Jambi berangkat sembari membawa pesan nenek agar datuk  di makamkan di  Bukit Kauman.

Sebagai tokoh  penting  Muhammadiyah, banyak yang menawari  tumpangan mobil untuk membawa jenasah Datuknya. Namun, warga Muhammadiyah menolak tawaran yang sudah disiapkan tersebut.  Masyarakat berkeinginan secara bergantian memikul jenazah datuk sampai ke peristirahatan terakhirnya di Bukit Kauman.  Ini adalah  bukti cinta mereka terhadap datuk  yang membesarkan  Muhammadiyah di Lubuk Jambi.

Sepanjang perjalanan sepanjang 25 Km yang memakan waktu sekitar dua jam tersebut  warga bergantian mengangkat keranda jenasah  datuk. Peluh, keringat, dahaga, dan rasa lapar tentu mereka rasakan.  Namun karena kecintaan  kepada orang yang mereka cintai, semuanya tidak terasa.  

Cerita haru biru kematian datuk  yang di tandu dengan jalan kaki secara estapet dari Telukkuantan – Gunung – Banjar Padang - Bukit Kauman  masih sering  didengar terutama oleh masyarakat  lubuk Jambi yang berumur  di atas 60 tahun.

Setelah sampai di rumah duka di  Bukit Kauman, ayah disemayamkan sejenak untuk disalatkan.  Masyarakat tumpah ruah ikut  menyalatkan dan mengantar ke tempat peristirahatan  terakhir di belakang rumah  datuk di  Bukit Kauman.

Datuk dimakamkan sekitar 200 Meter dari Mesjid Muhammadiyah Bukit Kauman ke arah mudik tepatnya di atas bukit jalan.  Makam Datuk saat ini dirawat oleh anaknya Zulfarida Hasan.”
--------------
DARI pernikahan Hasan Arifin dengan Raja Jomiah mendapatkan anak Rohanis Hasan, Khairati Hasan, Yuslim Hasan, Niswati Hasan, Zulfarida Hasan. Sementara dari pernikahannya dengan Siti Hajir,  Hasan Arifin hanya seorang anak  Yasni Hasan yang saat ini berdomisili di Desa Banjar Padang, Kecamatan Kuantan Mudik.

Di antara anak-anak Hasan Arifin masih yang masih hidup yakni Zulfarida Hasan yang kini berdomisili di Desa Muara Tombang, Kecamatan  Hulu Kuantan. Dan, kiprah  Hasan Arifin di Muhammadiyah kini  diteruskan oleh cucu-cucunya – satu di antaranya  adalah MASDIAN.  

Ibarat pepatah: Buah itu jatuh tak akan jauh dari batangnya. Darah Muhammadiyah dari sang datuk mengalir ke cucunya. Itulah  gambaran atas sosok Masdian.  Kecintaan kepada  Muhammadiyah adalah bukti cintanya kepada sang datuk yang dulu jua membesarkan Muhammadiyah .

Sosok  intelektual muda penerus kiprah datuknya itu kini mengabdi sebagai Kepala SMP 5 Singingi, Kabupaten Kuantan Singingi. Ia   juga berperan aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah di  Kabupaten Kuantan Singingi.  Ibarat pepatah Muhammadiyah dan Masdian bagai api dengan asap -  sulit dipisahkan.  

Apalagi kini Madian dipercaya jadi Pimpinan 13 Pimpinan Daerah Muhamamdiyah atau  Bendahara Umum Muhamamdiyah Kabupaten Kuantan Singingi.  “Wajar saja di mana ada acara Muhammadiyah seperti Musyawarah Wilayah atau Muktamar Muhammadiyah, Masdian ikut serta,” ujarnya saudaranya Alhalis.

Pepatah mengatakan gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama.  Sejarah memang  berupaya menghilangkan peran  Hasan Arifin karena  dia mendukung PRRI yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Pusat.

Namun sejarah mencatat sebelum  kemerdekaan  Hasan Arifin  merupakan salah seorang “putra terbaik”  asal Kuantan Singingi yang dipercaya memimpin ormas keagamaan (Muhammadiyah) yang kiprahnya kini makin berkibar.

Hasan Arifin adalah  Konsul  Muhamadiyah Riau Pertama di Indragiri yang diangkat  langsung Pengurus Pusat Muhammadiyah.

Hasan Arifin juga tercatat sebagai anggota parlemen (kini DPRD) Kabupaten Indragiri pertama asal  Kuantan Mudik.  

Selain dirinya ada SYECH  MUHAMMAD Hadi asal Sungai Ala asal   Hulu Kuantan d/h Kuantan Mudik diangkat sebagai “MUFTIH” atau Menteri Agama  di  Kesultanan Indragiri berkedudukan di Rengat.

Pertanyaan adalah haruskah sejarah itu dilupakan?

William Shakespeare pernah mengungkapkan: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet." (Apalah arti sebuah nama? Andaikata kamu memberikan nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi).

Nama  Hasan Arifin memang sengaja “dihilangkan” oleh pemerintah yang berkuasa waktu itu. Perlakuan sama juga dialami oleh tokoh-tokoh lain yang pro PRRI.  Namun seiring perjalanan waktu, namanya patut dikenang kembali. *)

Share: 21-01-2024






Tulis Komentar