Andaikan Koruptor Dimaafkan Jika Mengembalikan Kerugian Uang Negara

Jamri

KILASRIAU.com  - Dosen Hukum Tata Negara Universitas Islam Indragiri Tembilahan, dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jambi

Korupsi dan Tantangan Ketatanegaraan di Indonesia

Korupsi adalah ancaman serius bagi stabilitas negara, kepercayaan publik, dan pembangunan ekonomi di Indonesia. Wacana untuk memberikan pengampunan kepada koruptor yang mengembalikan kerugian negara menimbulkan perdebatan. Meskipun bertujuan memulihkan kerugian materiil, gagasan ini harus ditinjau dari sudut pandang hukum, moral, dan keadilan sosial. Dalam tulisan ini, penulis mengulas kemungkinan penerapan kebijakan tersebut dan implikasinya terhadap prinsip ketatanegaraan Indonesia.

Prinsip Hukum dan Negara Hukum

Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan supremasi hukum sebagai landasan utama. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa semua kebijakan negara, termasuk pengampunan, harus berlandaskan keadilan dan kepentingan umum. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga mencederai keadilan sosial.

Menurut Huda (2015), hukum bertugas melindungi negara dan masyarakat. Memberikan pengampunan kepada koruptor dapat melemahkan semangat penegakan hukum yang adil. Hal ini juga berpotensi menciptakan ketidaksetaraan dalam perlakuan hukum, seperti diungkapkan oleh Setiawan (2020), di mana keadilan menjadi asas yang tidak boleh diabaikan dalam negara hukum.

Aspek Moral dan Sosial

Dari sudut pandang moral, pengampunan terhadap koruptor berpotensi merusak nilai-nilai etika. Siregar (2019) menyebutkan bahwa korupsi bukan sekadar tindakan yang merugikan materi, tetapi juga mencederai kepercayaan publik dan menciptakan ketimpangan sosial. Jika korupsi dapat "dimaafkan" hanya dengan mengembalikan uang, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum.

Teori keadilan distribusi yang dikemukakan oleh Rawls (2001) menegaskan pentingnya kesetaraan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Pengampunan terhadap koruptor yang mampu mengembalikan kerugian negara dapat menciptakan ketidakadilan, di mana mereka yang memiliki sumber daya finansial mendapat perlakuan lebih ringan dibanding pelaku lainnya.

Keadilan Restoratif: Harapan atau Ancaman?

Pendekatan keadilan restoratif sering digunakan untuk memulihkan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Menurut Zehr (2002), pengembalian kerugian dapat dianggap sebagai langkah pemulihan. Namun, dalam kasus korupsi, penerapan prinsip ini harus hati-hati agar tidak mengurangi efek jera.

Konstitusi Indonesia melalui Pasal 23E UUD 1945 menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan negara. Kebijakan pengampunan yang hanya berfokus pada pengembalian uang berisiko melemahkan integritas sistem hukum dan prinsip keadilan sosial.

Implikasi Kebijakan bagi Ketatanegaraan

Dalam jangka pendek, kebijakan ini mungkin terlihat efektif dalam memulihkan kerugian negara. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan hukum. Budiarto (2018) menegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi menciptakan preseden buruk, di mana pelaku dengan kemampuan finansial dapat menghindari hukuman yang seharusnya diterima.

Kesimpulan

Pengampunan terhadap koruptor yang mengembalikan kerugian negara adalah kebijakan yang kompleks dan berisiko merusak prinsip supremasi hukum dan keadilan sosial. Meski pengembalian kerugian penting, kebijakan ini harus dirancang dengan hati-hati agar tidak mencederai integritas hukum. Indonesia membutuhkan pendekatan yang lebih tegas dan adil untuk memastikan hukum berjalan tanpa diskriminasi dan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem ketatanegaraan.**






Tulis Komentar