13 Tahun Lapindo, LSM Menyebut Ganti Rugi Masih 'Hina' Korban

13 Tahun Lapindo, LSM Menyebut Ganti Rugi Masih 'Hina' Korban
Ilustrasi Lumpur Lapindo. (Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

KILASRIAU.com -- Ganti rugi untuk para korban semburan Lumpur Lapindo masih dipermasalahkan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan walaupun bencana tersebut sudah terjadi 13 tahun lalu dan pemerintah serta perusahaan sudah memberikan ganti rugi, tapi uang kerohiman yang diberikan masih dianggap melecehkan masyarakat korban semburan. 


Pasalnya, nilai ganti rugi yang diberikan mereka anggap tidak sebanding dengan kerugian yang harus diterima korban. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah melakukan kilas balik atas ganti rugi korban.

Untuk ganti rugi, awalnya Lapindo selaku perusahaan yang bertanggung jawab atas bencana tersebut sepakat membayar ganti rugi sebesar Rp3,8 triliun sesuai peta area sebaran lumpur. 

Tapi ternyata dari angka tersebut, Lapindo hanya bisa membayar Rp3,03 triliun dan sementara sisa Rp827 miliar harus ditalangi pemerintah dulu.

Sehingga, pemerintah dan Lapindo perlu memberikan pelatihan kerja serta mengganti rugi pendapatan korban yang hilang akibat bencana tersebut. Tak kalah penting, pemerintah juga harus mengganti biaya relokasi warga yang terpaksa mengungsi gara-gara insiden tersebut. 
Untuk ganti rugi yang ditalangi pemerintah sampai saat ini juga masih menimbulkan tanda tanya. Pasalnya, sampai dengan awal 2019 kemarin atau empat tahun menjelang batas waktu bagi Minarak Lapindo untuk mengembalikan dana talangan yang sudah dibayarkan pemerintah untuk membayar ganti rugi ke masyarakat korban, dana tersebut masih banyak yang belum dikembalikan.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan Lapindo baru membayar 10 persen dari total dana talangan ganti rugi sebesar Rp827 miliar yang sudah dikeluarkan pemerintah. 

Direktur Bakrie Group Anindya Novyan Bakrie kepada CNNIndonesia.combeberapa waktu lalu menjelaskan pihaknya berkomitmen untuk membayarkan seluruh ganti rugi kepada masyarakat korban lumpur Lapindo sesuai tenggat waktu. 

Namun Merah menyatakan nilai ganti rugi baik yang sudah dibayarkan perusahaan maupun ditalangi oleh pemerintah tersebut masih belum adil. Pasalnya, ganti rugi ini ternyata hanya mengganti nilai nominal 10.426 rumah warga yang terdampak lumpur.

"Ini bukan ganti rugi, tapi ini kemudian direduksi jadi sekadar praktik jual beli tanah dan bangunan saja. Padahal seharusnya, ganti rugi ini harus memperhitungkan dampak materiil dan immateriil. Tapi entah kenapa, ganti rugi ini seolah-olah menjadi jalan keluar bagi kasus ini," jelas Merah, Rabu (29/5).

Merah mengatakan korban terdampak semburan lumpur Lapindo sejatinya tak hanya kehilangan rumah. Korban juga kehilangan masa depan yang kalau dihitung secara nominal bisa  fantastis jumlahnya.

Maklum, selain kehilangan rumah, masyarakat korban lumpur Lapindo juga banyak yang terpapar delapan jenis logam berbahaya mulai dari besi, mangan, kobalt, boron, hingga kadmium. 

Kerugian tersebut  perlu ditanggung pemerintah dan korporasi. Selain itu, masyarakat juga banyak yang kehilangan sumber mata pencaharian seperti sawah dan sentra kerajinan tangan di area terdampak bencana. 


Terakhir, pemerintah juga harus memberikan bantuan kesehatan bagi anak-anak maupun warga yang trauma pasca semburan lumpur. "Jadi secara kasar, ganti rugi yang diberikan pemerintah mungkin hanya 2 persen dari kebutuhan yang sebenarnya. Pemerintah dalam hal ini juga harus bertanggung jawab karena mereka yang memberikan izin usaha kepada Lapindo," jelas Merah.

Manajer Kampanye Perkotaan, Tambang, dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Dwi Sawung mengatakan pemerintah wajib tegas kepada Lapindo soal pembayaran ganti rugi yang lebih banyak. Harusnya pemerintah tak usah peduli mengenai kemampuan finansial Lapindo terkait ganti rugi, mengingat itu sudah menjadi kewajiban Lapindo.

Di tingkat daerah, ia berharap pemerintah bisa mengancam untuk tidak memberikan izin usaha kepada Lapindo jika mereka melakukan ekspansi. Makanya, ia cukup menyayangkan ketika pemerintah ternyata memberikan izin eksplorasi kepada Lapindo di Jombang, Jawa Timur.
 

Kemudian, pemerintah juga bisa melakukan pemaksaan ganti rugi kepada Lapindo layaknya pemerintah Amerika Serikat (AS) menekan BP dalam kasus pencemaran lingkungan dari anjungan minyak deepwater horizon 2010 silam. Hanya saja, agar bisa dituntut secara paksa, perlu ada pengakuan dari pengadilan bahwa Lapindo telah lalai.

"Kami pernah menggugat Lapindo ke PN Jakarta Selatan namun ditolak pada 2007 silam. Kala itu, pengadilan menganggap Lapindo adalah bencana alam jadi mereka tidak bisa dibebankan ganti rugi yang banyak," papar dia.