KILASRIAU.com - Dalam khazanah Melayu, Mandi Safar* bukan sekadar ritual turun ke sungai atau laut. Ia adalah simbol penyucian diri, menolak bala, dan mengharap keberkahan hidup. Air yang mengalir menjadi lambang kejernihan, sementara prosesi itu diniatkan untuk membersihkan jiwa dari segala noda, agar langkah manusia kembali seimbang dengan alam dan sesama.
Dalam bingkai ini, reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto dapat diibaratkan sebagai mandi safar politik: sebuah usaha membersihkan tubuh pemerintahan dari noda lama, sekaligus menyiapkan bahtera negara untuk berlayar lebih jauh di samudera kekuasaan.
Dalam tradisi politik modern, reshuffle kabinet sering dipahami sebagai langkah teknokratis untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Namun di balik itu, ia juga adalah ritual politik. Pepatah Melayu mengingatkan, _“air yang keruh jangan dibiarkan mengalir, nanti merusak sawah di hilir.”_ Demikian pula, bila ada menteri yang gagal, terseret konflik kepentingan, atau mengabaikan amanah rakyat, maka ia mesti diganti.
Bagi Prabowo, reshuffle bukan hanya soal mengganti nama, melainkan upaya menjaga marwah kepemimpinan. Kabinet yang tidak solid akan membuat bahtera pemerintahan oleng. Karena itu, proses ini layaknya menyapu laman rumah, membuang dedaunan kering dan ranting yang berserakan agar halaman kembali rapi.
Namun reshuffle kabinet di Indonesia tidak pernah steril dari politik. Sistem presidensial kita dibangun di atas koalisi besar yang kerap berlapis kepentingan. Di titik ini, reshuffle sering ditafsirkan sebagai *panggung bagi pembagian kursi.