KILASRIAU.com - Dalam sejarah Islam, kita mengenal tokoh Musailamah al-Kadzaab, seorang nabi palsu yang muncul di masa Rasulullah SAW.
Ia mengaku mendapat wahyu dan ingin sejajar dengan Nabi Muhammad SAW, bahkan menawarkan kerja sama kerasulan. Klaim kenabiannya bukan sekadar kesesatan pribadi, tapi juga bentuk pengkhianatan terhadap kebenaran, demi kekuasaan dan pengaruh duniawi.
Lalu, di zaman ini, kita melihat fenomena yang tak jauh beda tapi dengan bungkus yang lebih modern: pemalsuan ijazah. Ijazah palsu bukan sekadar selembar kertas, tapi simbol dari kebohongan yang dirancang untuk meraih posisi, jabatan, atau kehormatan yang tidak layak diraih. Pelakunya, dengan sadar, memalsukan rekam jejak intelektual agar terlihat pantas di mata manusia, meski tidak pernah benar-benar pantas di hadapan Allah.
Bukankah ini mirip dengan Musailamah, yang memalsukan wahyu agar dipandang sebagai nabi?
Keduanya berangkat dari akar yang sama: kesombongan dan ambisi duniawi yang melampaui batas moral. Musailamah ingin sejajar dengan Rasul, padahal tak punya wahyu. Pemalsu ijazah ingin sejajar dengan sarjana, padahal tak pernah menempuh jalan ilmunya.
Masyarakat saat ini perlu merenung: mengapa ada orang yang rela berbohong hanya demi jabatan atau status? Bukankah lebih mulia menjadi orang biasa yang jujur, daripada menjadi pejabat tinggi dengan fondasi kepalsuan?
Dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
( Al-Baqarah: 42)
Pemalsuan ijazah adalah bentuk mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Itu adalah dusta yang membahayakan tidak hanya pribadi, tapi juga masyarakat luas. Betapa ngerinya ketika seorang pejabat, dosen, atau pemimpin lahir dari kebohongan karena setiap keputusan yang ia ambil bisa bersumber dari ketidaktahuan, dan setiap langkahnya mungkin melahirkan ketidakadilan.
Dan seperti Musailamah yang akhirnya terbunuh dalam Perang Yamamah, sejarah akan mencatat para pembohong intelektual ini. Mereka mungkin berjaya sesaat, tapi pada akhirnya kebenaran akan menang, dan kebohongan akan terbongkar. Dunia bisa tertipu, tapi Allah tidak pernah lalai.
Ijazah palsu bukan sekadar kejahatan administratif, tapi luka moral yang dalam. Ia mencederai nilai kejujuran, menginjak-injak perjuangan para pencari ilmu sejati, dan merendahkan martabat keilmuan.
Mari kita lawan kebiasaan berbohong ini, mulai dari diri sendiri, lingkungan terkecil, perguruan tinggi, hingga institusi publik.
Pendidikan adalah cahaya. Jangan kita padamkan cahaya itu dengan bayang-bayang dusta.
Wallahu A'lam.