Burhanuddin: Ini Harapan Masyarakat Petani Kelapa Kabupaten Inhil

Baharuddin Ketua Perpekindo Wilayah Inhil

KILASRIAU.com - Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil) Perkebunan kelapa yang sangat luas. Berdasarkan data seluas 464.271 hektar, dari luas tersebut terdapat 100.254 hektar berupa kebun kelapa tua, rusak dan mati.

Dan sebanyak 80% penduduk Indragiri Hilir menggantungkan hidupnya dari perkebunan kelapa. rakyat yang mengelola perkebunan kelapa secara swadaya selama ini dihadapkan berbagai permasalahan dimulai dari pembukaan lahan perkebunan hingga pada peliknya persoalan harga komoditas dan pemasaran hasil perkebunan.

Berikut permasalahan yang dihadapi masyarakat petani kelapa Indragiri Hilir selama ini antara lain:

1. Harga dan Panjangnya Mata Rantai Pemasaran; Harga komoditas kelapa yang selama ini masih tergantung pada harga CNO (Crude Cococnut Oil) di pasaran virtual Rotterdam Belanda. Dan ini  hampir semua industry kelapa dalam dan luar negeri menggunakan patokan harga CNO  Rotterdam sebagai patokan harga pembelian bahan baku industri, kecuali untuk bahan baku industry turunan kelapa organic. Masyarakat petani kelapa yang merupakan mata rantai ke- 3 dalam pemasaran hasil perkebunan. Petani seharusnya dapat menjadi SUPLAYER bagi industry kelapa yang ada.

2. Rendahnya Mutu Kelapa; Buah kelapa yang dipanen oleh petani dengan kualitas yang masih rendah. Masih didapatkan kelapa yang dijual petani berupa kelapa bulat yang tumbuh, muda dan basah. Hal ini disebabkan karena sebagian besar area perkebunan kelapa merupakan dataran rendah dan lahan basah (Wetland), kurangnya sosialisasi terhadap petani tentang kualitas kelapa yg baik dan penanganan paskapanen yang baik.

3. Petani Terlilit Hutang Pada TOKE; Adanya ikatan petani kelapa dan pedagang pengumpul tingkat pertama TOKE. Toke memberikan modal kerja kepada petani dan dibayar dengan hasil perkebunan pada saat panen. Hutang ini biasanya lunas pada saat harga kelapa lebih tinggi dari biaya produksi dan keuntungan petani.

4. Kebun Kelapa Tidak Menghasilkan dan Alih Fungsi Lahan; Perkebunan kelapa rakyat banyak yang rusak karena serangan hama dan penyakit, terendam air baik air tawar maupun air laut dan merupakan kelapa yang sudah tua. Rerata berumur 65 tahun.

Hal ini menyebabkan rendahnya produktivitas kelapa rakyat. Alih fungsi lahan menjadi perkebunan SAWIT, oleh corporasi atau secara swadaya oleh pemilik kebun.

5. Berkurangnya Generasi Muda Petani; Rendahnya minat generasi muda untuk berkebun menyebabkan pemeliharaan lahan perkebunan kelapa diserahkan sepenuhnya kepada PEKERJA KELAPA.

Hal ini disebabkan tidak adanya kepastian pasar komoditas perkebunan kelapa dan fluktuasi harga yang naik turun secara ekstrim.

6. Kelembagaan Petani Kelapa Yang Kuat Belum adanya kelembagaan petani yang kokoh dan kuat serta saling bersinergi dengan Pemerintah dan Industri. Kelembagaan dapat berupa Asosiasi Petani dari tingkat desa hingga kabupaten atau berupa Badan Usaha Milik Rakyat dan KOPERASI.

7. Industri Kelapa terpadu yang Kuat; Industri kelapa yang ada belum mampu menyerap keseluruhan buah kelapa yang ada dari petani.

Apa yang di inginkan PETANI?
Petani kelapa yang ada di Indragiri Hilir saat ini merupakan petani kelapa generasi ketiga dari Pendahulu yang membuka perkebunan kelapa secara swadaya. Dari pembukaan dan penentuan lahan perkebunan, Pemilihan bibit kelapa, Perawatan kebun, Panen dan Pengolahan pasca panen serta pemasaran hasil perkebunan selama tiga generasi dlakukan secara swadaya oleh petani. Oleh karena itu, kami sebagai petani kelapa generasi ketiga mengharapkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Sertifikasi lahan Perkebunan Kelapa Milik Petani Rakyat; Pengakuan secara hukum formal oleh negara atas lahan perkebunan kelapa yang dimiliki oleh petani kelapa rakyat sangat diperlukan, mengingat bahwa pada saat pembukaan lahan perkebunan kelapa oleh Pendahulu kami hanya bermodalkan IZIN TEBANG DARI KECAMATAN SETEMPAT, sehingga lahan perkebunan kelapa rakyat saat ini ada yang masih dalan status Kawasan Hutan dan dalam Status Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan Sawit.

2. Standarisasi Harga Kelapa Nasional; Tahun 2017 berbagai stakeholder kelapa bertemu secara nasional untuk membahas harga kelapa secara nasional. Telah disepakati harga kelapa saat itu sebesar Rp. 2610 per kg berdasarkan harga CNO Rotterdam dan biaya produksi petani. Harga tersebut belum termasuk nilai keuntungan oleh petani. Standarisasi harga ini tdak dapat di berlakukan karena belum adanya REGULASI KELAPA SECARA NASIONAL.

3. Pengembangan Hilirisasi Kelapa Terpadu Berbasis KORPORASI PETANI; Petani kelapa rakyat sudah saatnya diarahkan pada usaha-usaha sector hulu seperti meremajakan kelapa dengan varietas unggul local, varietas hybrida, varietas kopyor dan kelapa pandan wangi atau kelapa hijau, optimalisasi lahan perkebunan dengan tanaman yang sesuai dengan kondisi lahan dan keinginan pasar internasional. Adanya badan usaha yang dikelola oleh pemerintah setempat, seperti FAMA (Federal Agricultur Marketing Authority) Malaysia atau Badan Usaha Milk Rakyat (BUMR) dalam bentuk Koperasi atau UD yang membeli kelapa bulat petani pada tiap kecamatan untuk dikelola menjadi KOPRA serta produk turunan lainnya  atau dijual langsung ke industry dan pasar yang ada. Petani kelapa rakyat hanya focus pada pengelolaah kebun kelapa dan tidak dilbatkan pada industry dan pemasaran.

Konsep terakhir di atas diharapkan dapat membuka lapangan pekerjaan baru bagi generasi muda setempat pada beberapa kecamatan kluster kelapa yang menjadi Sentra Industri Kecil Menengah (SIKIM) kelapa yang di bentuk oleh KORPORASI PETANI. Kecamatan Kluster Kelapa yang mempunyai Sentra Industri Kecil Menengah akan menopang satu  Kawasan Industri Kelapa yang berada di kabupaten. Kawasan Industri Kelapa ini hendaknya berada pada areal yang mempunyai infrastruktur memadai, berupa jalan darat, pelabuhan Kontainer atau Pelabuhan Ekspor. Adanya SIKIM dan Kawasan Industri Kelapa ini diharapkan dapat mengurai permasalah kelapa di daerah ini.






Tulis Komentar