Harga Minyak Dunia Melejit Hingga 10%

KILASRIAU.com -- Harga minyak mentah dunia melejit hingga 10 persen sepanjang pekan lalu. Penguatan dipicu kekhawatiran terhadap potensi serangan Amerika Serikat (AS) ke Iran yang dapat mengganggu aliran minyak dari Timur Tengah, penghasil lebih dari seperlima produksi minyak dunia.

Dilansir dari Reuters, Senin (24/6), harga minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) pada perdagangan Jumat (21/6) ditutup di level US$57,54 per barel atau menguat sekitar 10 persen sepanjang pekan lalu, penguatan mingguan terbesar sejak Desember 2016.

Kenaikan juga terjadi pada harga minyak mentah Brent sekitar 5 persen dengan ditutup di level US$65,17 per barel. Penguatan tersebut merupakan yang pertama selama lima pekan terakhir.

Pada Kamis (20/6) lalu, harga WTI melejit 5,4 persen dan Brent menguat 4,3 persen setelah Iran menembak sebuah drone militer di area yang diklaim AS berada di ruang udara internasional. Namun, Iran menyatakan bahwa penembakan berada di wilayahnya.

"Meningkatnya tensi antara AS dan Iran telah berkembang sebagai pendorong utama harga dalam lonjakan harga minyak," ujar Pimpinan Ritterbusch & Associates Jim Ritterbusch dalam catatan yang dikutip Reuters.

Presiden AS Donald Trump menyatakan ia telah membatalkan serangan militer ke Iran. Pasalnya, jika terealisasi, serangan itu akan menyebabkan korban tewas yang tidak seimbang dengan hancurnya drone tanpa awak AS.

Pegawai pemerintah Iran menyatakan kepada Reuters, negaranya telah menerima pesan dari Trump melalui Oman yang memberikan peringatan serangan AS ke Iran akan terjadi dalam waktu dekat. 

Sebagai tanggapan atas peringatan tersebut, Iran menyatakan serangan apapun akan memiliki konsekuensi regional dan internasional. Mereka juga menyatakan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei tak menyukai pembicaraan namun mereka tetap akan menyampaikan pesan AS tersebut kepadanya.

Kemudian, pada Jumat (21/6) pekan lalu, Trump berbicara dengan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman terkait stabilitas Timur Tengah dan pasar minyak usai tensi dengan Iran yang mendorong kenaikan harga minyak.

Kekhawatiran terkait perlambatan pertumbuhan ekonomi dan sengketa perdagangan AS-China telah menekan harga minyak selama beberapa pekan terakhir. Kondisi itu terjadi setelah harga Brent sempat menyentuh level tertingginya untuk tahun ini, di atas US$75 per barel, pada April lalu.
Tensi telah memanas sejak sanksi AS mengenakan sanksi yang menekan ekspor minyak Iran secara tajam. Selain itu, tensi juga diperparah dengan tuduhan AS terhadap Iran terkait serangan di kapal tanker minyak di kawasan Teluk. Iran sendiri telah membantah keterlibatannya dalam serangan kepada kapal tersebut.

"Tak ada keraguan bahwa gangguan parah pada pengiriman minyak melalui rute yang rentan akan sangat serius," konsultan FGE Energy dalam catatannya.

Selain itu, para analis juga menilai harga minyak mendapatkan dorongan dari pertemuan anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya di awal Juli 2019, kebakaran besar di kilang Philadelphia Energi Solutions di Philadelphia, AS, dan potensi berkurangnya tensi perdagangan antara AS-China.

"Kekhawatiran terhadap perdagangan telah mereda, mendorong harga energi lebih tinggi karena pertumbuhan ekonomi global tidak akan tertekan oleh perang tarif yang berkepanjangan," ujar Analis Pasar Senior OANDA Alfonsi Esparza.
 

Proyeksi dari sisi permintaan juga telah membaik. Hal itu ditandai dengan meningkatkan minat investor terhadap aset berisiko setelah bank sentral AS dan Eropa memberikan sinyal kemungkinan pemangkasan suku bunga acuan pada pekan lalu.

Pelemahan dolar AS juga menopang harga minyak mentah yang biasanya dijual dengan denominasi mata uang Negeri Paman Sam itu. Sebagai catatan, pelemahan dolar AS akan membuat minyak menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain.

Lebih lanjut, perusahaan energi AS menambah 1 rig minyak yang beroperasi pada pekan lalu, kenaikan pertama selama tiga pekan terakhir. Namun demikian, secara bulanan, jumlah rig pada Juni ini diperkirakan akan menurun akibat pengebor minyak memangkas belanja demi mengerek pendapatan. Jika terealisasi, penurunan tersebut merupakan penurunan yang terjadi selama tujuh bulan berturut-turut.
 






Tulis Komentar