Eko Roni: Dari Tinjan ke Gulat, Kini Berlabuh di MMA

Eko Roni Saputra menatap debutnya di arena mixed martial art (MMA).

KILASRIAU.com - Eko Roni memutuskan hijrah dari gulat ke ajang tarung mixedbmartial art (MMA). Ternyata sebelumnya ia pernah juga mempelajari tinju sebelum jadi pegulat.

Eko Roni Saputra menjalani latihan terakhir di Jakarta Muay Thai Camp, Senopati, Jakarta, Sabtu (6/4/2019), sebelum bertolak ke Manila, Filipina. Di Manila dia akan menjalani laga debut MMA di One Championship bertajuk ONE: Roots of Honor. 

Pada latihan tersebut, Eko menjalani sparring dengan pelatih Brasil, Eduardo, dengan sangat serius. Ia memang harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih keras, karena baru enam bulan berlatih MMA.

Eko sebenarnya atlet gulat nasional. Dia pernah mengharumkan nama Indonesia di SEA Games 2009 Laos. Dia bahkan menjadi salah satu atlet di Asian Games 2018 Jakarta meski belum berhasil mempersembahkan medali.

Tapi rupanya Eko juga punya pengalaman dengan tinju. Ayahnya adalah seorang petinju sehingga Eko kecil tak asing dengan olahraga tersebut.

"Sebenarnya saya itu bermula dari olahraga tinju. Ayah saya yang dulu penjual ikan juga petinju pada masanya, dan sekarang menjadi pelatih," kata Eko membuka cerita kehidupan masa kecilnya. 

Eko kecil kerap ikut ketika ayahnya latihan bahkan sampai ayahnya menjadi pelatih sasana di Samarinda, Kalimantan Timur. Situasi itu juga yang turut menumbuhkan kecintaan Eko pada cabang olahraga beladiri tersebut dan beberapa kali ikut kejuaraan. 

"Saya pernah ikut kejuaraan tinju, tapi karena usianya tak cukup usia akhirnya batal. Saat itu level kadet dan saya kecewa sekali. Tapi tetap latihan lagi," katanya.

Sampai ketika usianya menginjak 13 tahun, ayahnya, Roehani, membuat keputusan lain untuk Eko. Atlet kelahiran 2 Mei 1991 itu diminta pindah ke cabang gulat. 

"Kebetulan keluarga saya pas-pasan finansialnya. Jadi semenjak saya usia 13 tahun, saya dibilang ikut cabor gulat saja. Karena di tinju saya tidak menghasilkan prestasi," cerita Eko. 

Eko awalnya menolak permintaan ayahnya. Berhari-hari setiap diantar ayahnya ke tempat latihan, dia hanya menyaksikan dua petarung yang bergulat di atas matras. 

Sampai ketika dia bertemu dengan pelatih gulat nasional, Suryadi Gunawan. Eko pun diiming-imingi gelar juara. Sejak itu, mindsetnya berubah. Eko siap menjadi pegulat.

"Apalagi melihat senior saya sudah enak-enak. Mereka punya motor Ninja dua tak, ada yang sudah punya rumah. Itu yang memotivasi saya. Makanya ketika teman saya masih tidur, saya sudah latihan subuh. Ke sekolah pun saya tidak menggunakan angkot tapi lari kalau tak punya duit," ujar Eko.

"Saya lari karena kalau jalan kan membutuhkan waktu. Jaraknya itu sekitar 6 km. Jadi dari mess berpakaian biasa, sampai sekolah mandi ganti baju. Tidak setiap hari juga, terkadang kalau ada duit baru naik angkot."

"Saat itu ongkosnya kan masih Rp 500. Jadi supaya uang saku aman makanya lari ke sekolah, kalau naik taksi (sebutan angkot di Samarinda) malah gak jajan. Uang jajan pun kadang dikasih ayah, kadang dikasih sama pak Suryadi."

"Di mess tempat kami tinggal juga agak susah. Hanya ada beras sementara lauknya cari sendiri. Makanya acara makan besarnya kalau ada acara pengantenan. Itu makan besar kami, hahaha," tandas Eko.

Tapi kondisinya itu yang membuat Eko semakin kuat mental dan mandiri. Dia membuktikan kepada keluarganya dengan cara mencari penghasilan sendiri. Dari mulai menjadi juru parkir hingga membantu membuat sablonan di mess, tempat ia tinggal. Eko juga malu kalau harus pulang ke rumah orang tuanya. Dia khawatir malah tambah menyusahkan.

"Saya ini orangnya penyendiri dan kebetulan di mess itu suka ada pembuatan spanduk. Jadi untuk dapat uang jajan sekolah saya bantu-bantu. Nah, teman-teman saya jalan, saya bantu pekerja di sana untuk tambah uang jajan. Terkadang diajak makan. Jadi untung kan, teman makannya susah, saya bisa makan ayam," ujar dia kemudian tertawa.

Buah kerja kerasnya, suami dari Nurdila Agusta ini pada prosesnya berhasil menjadi atlet pelatnas. Terbiasa berjuang juga membuat mentalnya siap, bahkan ketika diuji saat SEA Games Laos.

Ya, Eko hampir saja tak bisa membela Indonesia karena saat itu kontingen gulat Indonesia di SEA Games 2009 melebihi kuota. Pada saat technical meeting sejatinya nama Eko sudah dicoret.

Setelah sempat sulit tidur karena ada peluang gagal membela negara, pagi harinya ia mendapat kabar bahwa namanya masuk. Sebaliknya, justru salah satu kawannya gagal masuk daftar. 

"Saya tanding dengan kondisi tidak tidur semalaman. Babak pertama menang, dua psikolog datang untuk memberi motivasi. Di otak saya semangat, tapi tubuh kadang tak mendukung karena tak tidur. Jadi sebenarnya mendapat peringkat tiga itu keberuntungan buat saya. Saya hanya kalah angka sedikit dengan Vietnam," ungkap Eko.

Dari gulat, Eko mulai bisa menikmati hidup lebih nyaman. Barang yang dulu diimpikannya bisa didapatkannya, memberinya kebanggaan besar sebagai seorang atlet.

"Barang pertama saya itu handphone berukuran kecil. Kemudian saat PON 2008 saya beli motor Ninja 2 tak. Jadi saya beli itu udah kebanggaan banget itu," sahutnya.

"Setelah itu saya bisa beli rumah hasil PON 2012. Tapi karena finansial orang tua tidak baik, jadi ayah dan ibu serta adik-adik saya tinggal di rumah. Saya tinggal bersama mertua. Untungnya mertua mau, kebetulan di rumah ada usaha kolam renang, jadi bantu-bantu di sana juga," ujar anak pertama dari empat bersaudara tersebut.

Atas apa yang diraihnya, bukan berarti Eko sudah puas. Dia kini ingin menguji dirinya di cabang lain, yakni MMA.

"Ya saya ingin saya berusaha dengan sebaik-baiknya, saya berlatih keras saya ingin jauh lebih lama di singapura. Itu pun saya membela nama Indonesia," harapnya.

"Untuk bayaran itu manajemen lah. Intinya anak istri bisa hidup enak di sana (Singapura). Apa yang diinginkan bisa dibeli seperti orang lain. Alhamdullilah tinggal di apartemen," sambungnya. 






Tulis Komentar