Menkes Menunda Penghapusan Obat Kanker Usus dari Layanan BPJS

Ilustrasi

KILASRIAU.com -- Kementrian Kesehatan memutuskan untuk menunda penghapusan dan pembatasan penggunaan obat kangker usus besar dari daftar layanan BPJS Kesehatan. Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Widyawati mengatakan penundaan dilakukan karena pihaknya ingin mengevaluasi terlebih dahulu pemberian obat terapi dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Evaluasi tersebut, nantinya akan digunakan sebagai bahan untuk merevisi Keputusan Menteri kesehatan NomorHK.01.07/ Menkes/707/2018 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/659/2017 tentang Formularium Nasional.

"Selama penundaan tersebut, pasien yang membutuhkan tetap mendapat layanan sesuai dengan diagnosa yang ditegakkan secara definitif," Rabu (13/3).

Kementerian Kesehatan melalui Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK.01.07/ Menkes/707/2018 memutuskan untuk menghilangkan obat kanker usus besar atau kolorektal dari daftar obat yang ditanggung oleh layanan BPJS Kesehatan.

Dalam keputusan yang dikeluarkan 19 Desember 2018 tersebut setidaknya ada dua jenis obat kanker yang dihilangkan dari layanan BPJS Kesehatan. Pertama, obat bevasizumab yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan kanker.

Kedua, cetuximab yang digunakan untuk pengobatan kanker kolorektal (kanker usus besar). Untuk jenis obat bevasizumab, dalam keputusan menteri tersebut, sudah tidak masuk dalam formularium nasional obat yang ditanggung BPJS Kesehatan.

Padahal, dalam keputusan menteri sebelumnya, obat masih masuk dalam daftar. Obat jenis tersebut masih ditanggung untuk pengobatan kolorektal dengan peresepan maksimal sebanyak 12 kali.

Sementara itu untuk jenis cetuximab, dalam keputusan menteri kesehatan yang baru, pemberian diberikan dengan peresepan maksimal sebanyak enam siklus atau sampai terjadi terjadi perkembangan atau timbul efek samping yang tidak dapat ditoleransi mana yang terjadi lebih dahulu. 

Dalam keputusan menteri yang lama, peresepan diberikan maksimal 12 kali. Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan penetapan obat yang masuk ke dalam formularium nasional tersebut sudah dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan masukan tim penilai.

Salah satu pertimbangan penilaiannya adalah dari sisi efektifitas harga dibandingkan dengan manfaat. Kebijakan tersebut mendapatkan tentangan. 

Salah satunya dari DPR. Ketua DPR Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu mengatakan keputusan Kementerian Kesehatan tersebut telah bertentangan dengan Pasal 22 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 

Pasal 22 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 46 Perpres Jaminan Kesehatan mengatur ketentuan bahwa jaminan kesehatan mempunyai sifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Atas dasar itulah, ia meminta agar keputusan tersebut ditinjau kembali.






Tulis Komentar