UU ITE dan Polarisasi Politik

Ilustrasi: Mindra Purnomo

KILASRIAU.com - Kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan oleh DPR pada 2008 sebenarnya memilik tujuan mulia, yaitu antisipasi negara di tengah kehadiran internet sekaligus tindakan preventif akibat kejahatan yang muncul di tengah perangkat hukum yang tidak bisa memadai lagi untuk dijadikan pegangan sebagai keputusan hukum. 

Namun, kehadiran UU ITE menjadi kekhawatiran banyak orang, salah satunya adalah Robertus Robert, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Menurutnya, lahirnya UU tersebut bisa digunakan untuk mengatasi "keserbamungkinan di dunia maya lewat tangan besi kekuasaan". Akibatnya, banyak korban yang tidak bersalah akan muncul karena UU ITE ini. 

Sikap keberatan Robert tersebut menjadi kenyataan. Empat bulan setelah disahkan ada tiga korban dari masyarakat sipil yang terjerat UU ITE tersebut. Namun, yang terjadi berbeda dari asumsi Robert yang membayangkan bahwa aturan hukum tersebut digunakan oleh pemerintah sebagaimana terjadi seperti rezim Orde Baru berkuasa. Aturan tersebut justru digunakan bukan oleh institusi negara, melainkan korporasi sekaligus masyarakat sipil yang merasa terganggu atas curhatan individu lain di media sosial dan internet. 

Tiga korban pertama tersebut adalah Narliswandi Piliang seorang penulis, dilaporkan oleh Alvin Lie dari politikus PAN pada 28 Oktober 2008; Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga, dilaporkan oleh Rumah Sakit Omni Batavia; dan Erick J Adriansjah, akuntan yang dilaporkan pihak Bank Indonesia dan Artha Graha. Mereka diadukan melalui Pasal 27 ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Dibandingkan dengan dua korban lainnya, hanya Prita yang menarik perhatian publik sehingga memunculkan gerakan Coin For Prita. 

Satu tahun pasca Coin for Prita, dalam rentang 2008-2019, sebagaimana dirangkum oleh Safenet (2018), ada 275 orang yang terkena korban UU ITE. Mereka terdiri dari ragam profesi dan latar belakang; guru, murid, aktivis, karyawan, penulis, mahasiswa, ibu rumah tangga, advokat, hingga musisi. Jumlahnya terus mengalami tren peningkatan selama 10 tahun tersebut. Tidak semua menarik perhatian publik, kecuali pada kasus Ahok pada 2016-2017.

Dari jumlah korban UU ITE tersebut, jika dilihat dari sebaran geografi, kebanyakan jumlah korban terdapat di kota-kota besar, di mana infrastruktur telekomunikasi dan pengguna media sosialnya jauh lebih baik dan lebih banyak. Meskipun di daerah-daerah luar pulau Jawa juga tidak sedikit korban UU ITE. Khusus untuk wilayah Jakarta, kita bisa melihat bahwasanya ada 97 korban UU ITE. Dari data sebaran geografi korban UU ITE setidaknya menunjukkan dua hal yang saling terkait. Di kota-kota besar, jumlah korbannya cukup banyak, menunjukkan bahwa mereka mengerti perangkat hukum untuk menjebloskan orang ke dalam penjara ketika mereka tidak menyukainya. 

Sementara itu, di kota-kota kecil, meskipun jumlah korbannya tidak banyak, ada orang-orang tertentu yang bisa memainkan kekuatannya dengan mengajukannya ke pengadilan melalui. Di sini, politik oligarki lokal memainkan kekuasaannya dengan menggunakan UU ITE sebagai piranti membungkam mereka yang dianggap kritis ataupun sekadar melakukan curahan hati atas isu sosial yang terjadi di lingkungannya.

Dari semua korban tersebut ada tiga latar belakang subjek yang melakukan penuntutan. Pertama, orang biasa. Maksudnya, orang biasa yang memiliki cukup uang dan waktu untuk mengangkat kasus tersebut di ranah hukum. Kedua, korporasi, yakni perusahaan-perusahaan yang tidak suka atas sejumlah kritik yang dilakukan oleh para aktivis terkait dengan kerugian yang dialami oleh warga. Ketiga, afiliasi partai politik. Beberapa individu yang tergabung di partai politik kemudian mengadukan lawan politiknya atas nama pencemaran nama baik. 

Laporan tindakan pidana melalui UU ITE ini semakin meningkat seiring dengan terjadinya polarisasi politik yang membelah masyarakat menjadi dua pilihan. Kasus terbaru yang terjadi kepada Ahmad Dhani dan sekarang dihadapi oleh Rocky Gerung persis berada dalam pusaran ini.

Memang, pada 2016 ada perubahan minor atas UU ITE tersebut, meskipun pada kenyataannya justru memperkuat regulasi tersebut. Karena itu, alih-alih memperkuat UU ITE dengan menyalahkan pihak terpidana karena ucapan provokatifnya seiring dengan latar belakang afiliasi partai politik dan kubu yang didukung, yang perlu dilakukan bersama adalah mencabut "pasal pencemaran nama baik" tersebut agar tidak memakan banyak korban yang "tak bersalah". 

Kebebasan berpendapat merupakan sikap alamiah di era demokrasi dan bagian prasyarat tumbuhnya partisipasi publik yang sehat. Pertanyaannya, apakah para pemegang kebijakan dan elite partai politik mau mencabut "pasal karet" tersebut? Dari gelagatnya, jawabannya adalah tidak. Justru UU ITE menjadi alat ampuh bagi pelbagai kubu politik maupun non-politik untuk membungkam musuh-musuhnya.






Tulis Komentar