Manfaat Traveling Milenial: Belajar Toleransi dan Obat Kegalauan

Ilustrasi traveler (Thinkstock)

KILASRIAU.com - Melancong bukan sekadar mengunjungi tempat baru. Ternyata bagi generasi milenial, ada manfaat lain yang penting dari traveling bagi kejiwaan mereka.

Pergi traveling, apalagi ke tempat baru, yang tidak biasa kita temui memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Tentu, hal ini menimbulkan reaksi bagi berbagai orang, namun ternyata ada 'silver lining' yang bisa kita petik.

Salah satunya ada toleransi atau memahami perbedaan. Menurut Pengamat Sosial dan Ketua Program Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, traveling memaksa orang untuk akrab dengan perbedaan. Individu tersebut akan melihat orang lain dengan beda suku, agama atau ras.

"Ketika pergi ke berbagai tempat, mau tidak mau, akan bertemu dengan orang dari berbagai suku, agama, dan ras. Mereka akan menyadari misalnya bahwa mereka harus mampu memiliki toleransi yang besar terhadap semua orang. Mengingat kalau di tempat asalnya semua orang sama, namun di tempat lain bisa jadi dia adalah minoritas. Sehingga sepulang dari berlibur dia akan memiliki modalitas untuk lebih menerima perbedaan dan menjauhi diskriminitas," ujarnya saat dihubungi detikTravel Rabu, (30/1/2019).

Devie juga seorang traveler yang telah menjelajahi 29 negara dan 35 kota ini juga menjelaskan bahwa traveling ke tempat baru juga mengajarkan individu untuk tidak berbuat seenaknya. Hal ini, menjadi salah satu poin yang ditanamkan dari toleransi.

"Misalnya, kita di Indonesia, Muslim mayoritas, ke luar negeri minoritas. Bisa belajar, oh iya ya, kita nggak boleh belagu nih, mentang-mentang mayoritas. Misalnya bagaimana Inggris memperlakukan minoritas, mereka sangat toleran. Jadi ketika balik Indonesia nggak boleh seenaknya. Nggak cuma SARA, tapi juga materi. Ketika Anda kaya, ada orang kaya yang nggak meremehkan orang miskin karena mereka punya kemampuan kelebihan. Lebih bisa menerima perbedaan jadinya," tambahnya.

Dalam riset yang dilakukan oleh Momondo tahun 2016 bertajuk 'The Value of Travelling', 7.292 responden dari 18 negara mengungkapkan kalau 61 persen dari mereka percaya, bahwa akan sedikit kasus intoleransi di dunia jika orang-orang pergi berwisata.

Selain 76 persen dari responden menyatakan traveling membuat mereka lebih melihat sisi positif dalam perbedaan budaya. Ditambah, 53 persen dari total responden juga mengatakan kedamaian akan lebih banyak tercipta jika orang-orang sering traveling.
 

Berdamai dengan diri sendiri

Sedangkan, menurut Psikolog Bona Sardo Hutahaean, M.Psi, traveling, dapat membuka cakrawala berpikir yang lebih luas. Menurutnya, hal ini juga bisa mengajak berdamai pada diri sendiri dan orang yang berada di sekitar. Traveling jadi obat kegalauan kaum milenial

"Untuk Solo (traveling-red) akan banyak pengalaman baru sebagai individu sebagai orang-orang, seseorang yang harus banyak survive dengan lingkungan sekitar apakah itu memang diminati apa bukan, atau cari suasana yang berbeda, kepribadian dia. Dari situ akan ada gesekan, friksi dalam diri, akhirnya makin mengenal lagi, saya apakah suka gunung pantai apakah perkampungan atau perkotaan secara individu," ujar Bona.

Bona juga menambahkan, jika pergi bersama keluarga atau kerabat pun juga akan bisa menemukan sisi lain yang mungkin belum ditemukan sebelumnya.

"Group traveler dengan teman, kolega, pasti banyak juga hal-hal yang mungkin bisa baru bisa nggak. Karena sudah kita kenal, karena sudah kenal berapa tahun atau keluarga, dari lahir, tidak ada yang baru. Barunya dengan keluarga mungkin ada hal-hal yang disadari bahwa kok komunikasi dengan ayah tidak selalu agresif, atau komunikasi dengan kakak adik, kok sangat dekat lagi santai, liburan, hal baru, dengan teman setengah dekat atau sahabat pasti banyak yang bisa membantu mengenal diri lebih jauh si partner itu. Kalau solo traveler efek ke diri sendiri, group hubungan," tambah Bona.

Kembali ke Devie, dia pun juga mengatakan, seorang traveler akan lebih mudah untuk menghadapi kejutan hidup. Hal ini juga membantu mengatasi krisis 'berdamai dengan diri sendiri'.

"Ketika melancong tidak semua rencana akan berjalan mulus. Menghadapi berbagai tantangan seperti penginapan yang tidak layak, penerbangan yang ditunda, teman perjalanan yang tidak sehat dan sebagainya. Kondisi ini akan memperkuat sekembalinya ke tempat asal," ujar Devie.

Ternyata, banyak hal yang bisa dipelajari dari melancong. Contohnya adalah tenggang rasa dan berdamai dengan sebuah hal yang ada di dalam diri sendiri. Tentunya, ini kembali ke diri masing-masing, apakah tujuan kamu menjelajahi seluk beluk dunia?
 






Tulis Komentar