Warning! Prediksi Bank Dunia Ekonomi Indonesia Turun

Warning! Prediksi Bank Dunia Ekonomi Indonesia Turun

KILASARIAU.com - Paparan World Bank atau Bank Dunia kepada pemerintah menyebut laju perekonomian Indonesia bisa saja mengalami penurunan. Hal ini karena Indonesia dinilai kurang memiliki produktivitas dan kurangnya pertumbuhan tenaga kerja di dalam negeri.

Selain itu, kondisi current account deficit (CAD) juga disebut semakin terpuruk, hal-hal ini dinilai akan mempengaruhi aliran modal asing yang masuk dan keluar dari Indonesia.

Dalam materi presentasi yang diterima detikcom, World Bank menyebut jika perekonomian Indonesia akan terus turun akibat masih lemahnya produktivitas dan melambatnya pertumbuhan tenaga kerja. Kemudian, harga komoditas juga disebut akan menekan perekonomian domestik.

"Jika pertumbuhan ekonomi di China turun 1%, maka ekonomi Indonesia juga akan berdampak turun 0,3%," tulis presentasi tersebut, dikutip detikcom, Jumat (6/9/2019).

Bank Dunia juga mencontohkan pada 2009, perekonomian global merosot akibat harga komoditas yang terus turun. Dia mengungkapkan, saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia juga melambat 1,7%.

Saat ini perekonomian global juga dibayangi dengan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dan potensi resesi ekonomi AS. Hal ini disebut akan memicu aliran modal keluar yang lebih besar dari Indonesia.

Indonesia disebut akan makin terpuruk akibat masih tingginya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Kuartal II 2019 CAD Indonesia mencapai 3% atau US$ 8,4 miliar dari produk domestik bruto (PDB), naik dari kuartal sebelumnya yang hanya 2,6% dari PDB.

Kemudian Bank Dunia memproyeksi, CAD Indonesia di akhir 2019 US$ 33 miliar naik dari tahun sebelumnya US$ 31 miliar. Kemudian investasi asing atau foreign direct investment (FDI) hanya US$ 22 miliar hingga akhir tahun ini.

Dengan kondisi itu, Bank Dunia menilai, Indonesia membutuhkan dana asing masuk (inflow) minimal US$ 16 miliar per tahun untuk menutup gap defisit tersebut.

"Pembiayaan eksternal yang dibutuhkan bisa lebih banyak jika capital outflow yang diprediksi benar-benar terjadi," tulisnya.

Bank Dunia menilai solusi untuk mempertahankan perekonomian domestik bukan menurunkan CAD, namun meningkatkan investasi atau FDI yang masuk.

Insentif fiskal seperti tax holiday juga dinilai Bank Dunia tak seluruhnya menyelesaikan masalah dan membuat Indonesia kompetitif secara global di sektor otomotif, tekstil, elektronik, maupun manufaktur.

"Indonesia harus reformasi besar-besaran dengan membangun kredibilitas dengan membangun bisnis yang terbuka, kepastian peraturan, dan kepatuhan dengan kebijakan presiden," tambahnya.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan seluruh dunia saat ini memang sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, dia optimis jika dana asing tak akan keluar dari Indonesia. Hal tersebut karena pemerintah berupaya penuh untuk mengeluarkan kebijakan agar Indonesia tetap menarik di mata internasional.

"Kita akan perbaiki kebijakan ini untuk menyampaikan jika kondisi perekonomian Indonesia yang masih tumbuh di atas 5%, inflasi terjaga, perbaikan di sektor bangunan, kemiskinan, pertumbuhan kelas menengah, infrastruktur yang mulai terbangun dan ini jadi destinasi yang baik dari investasi," kata Sri Mulyani di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (6/9/2019).

Dia mengungkapkan, pemerintah juga perlu bersikap aktif untuk melihat kebutuhan investor. Hal ini agar investor tak hanya menyatakan minat untuk investasi tetapi juga harus direalisasikan.

"Kita harus aktif melihat kebutuhan (investor) supaya mereka bisa betul-betul menerjemahkan minat menjadi aktivasi investasi, jadi tidak berhenti di minat saja," imbuh dia.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengungkapkan saat ini investor masih akan betah menyimpan dana di Indonesia. Hal ini karena jarak imbal hasil obligasi dengan US Treasury dinilai masih sangat menarik.

"Kalau saya lihat, yang terjadi di Indonesia pasarnya masih oke. Spread masih di atas 5,5%, terus fiskal kita juga sangat prudent jadi masih confident lah," kata dia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan kekesalannya lantaran investasi yang masuk ke Indonesia kalah dari negara tetangga. Banyak perusahaan yang pindah dari China larinya bukan ke Indonesia.

Hal itu dia sampaikan saat membuka rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta Pusat. Ratas membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia.

"Catatan yang kemarin disampaikan Bank Dunia kepada kita, dua bulan yang lalu, ada 33 perusahaan di Tiongkok keluar (di relokasi ke negara lain)," kata Jokowi, Rabu (4/9/2019).

Dari 33 perusahaan itu, Jokowi menekankan bahwa 23 memilih pindah ke Vietnam, dan 10 sisanya pindah ke beberapa negara mulai dari Malaysia Thailand, dan Kamboja. Bahkan Jokowi sampai mengulangi data itu untuk memberi penekanan.

"Dari 33 tadi, sekali lagi, 33 perusahaan di Tiongkok yang keluar, kita ulang, 23 ke Vietnam, 10 ke Kamboja, Thailand, dan Malaysia, tidak ada yang ke Indonesia," ujar Jokowi.

Jokowi juga memberi contoh lain, yaitu pada 2017 sejumlah perusahaan di relokasi dari Jepang. Lagi-lagi yang menikmati buahnya negara lain, sedangkan Indonesia hanya kecipratan sedikit.

"Kemudian kalau 2017, 73 perusahaan Jepang memilih relokasi tapi relokasinya kemana? coba kita lihat, 73 perusahaan, 43 ke Vietnam, 11 ke Thailand, dan Filipina, baru yang berikutnya 10 ke Indonesia," terangnya.

Menurut Jokowi ada permasalahan yang terjadi di internal Indonesia. Penyebabnya bukan karena faktor eksternal. Dia mencontohkan, perusahaan yang pindah dari China hanya butuh waktu dua bulan untuk bisa pindah ke Vietnam.

"Tolong ini digarisbawahi, hati-hati berarti kita memiliki persoalan yang harus kita selesaikan. Dan setelah dilihat lebih detail kalau mau pindah ke Vietnam itu hanya butuh waktu 2 bulan rampung semuanya, kita bisa bertahun-tahun," tambah Jokowi.